1. Clifford Geertz Tentang Agama Jawa
(Abangan, Santri, Priyayi)
Clifford
Geertz adalah penulis buku legendaris The Religion of Java, yang populer
sekaligus penting bagi diskusi tentang agama di Indonesia, khususnya di Jawa.
Pandangan Geertz yang mengungkapkan tentang adanya trikotomi--abangan, santri
dan priyayi--di dalam masyarakat Jawa, ternyata telah mempengaruhi banyak orang
dalam melakukan analisis baik tentang hubungan antara agama dan budaya, ataupun
hubungan antara agama dan politik. Dalam diskursus interaksi antara agama,
khususnya Islam, dan budaya di Jawa, pandangan Geertz telah mengilhami banyak
orang untuk melihat lebih mendalam tentang interrelasi antara keduanya.
Keterpengaruhan itu bisa dilihat dari beberapa pandangan yang mencoba
menerapkan kerangka berfikir Geertz ataupun mereka yang ingin melakukan kritik
terhadap wacana Geertz.
Geertz
adalah salah seorang generasi pertama Indonesianis yang selalu menaruh
perhatian besar tentang perkembangan yang terjadi di Indonesia. Ia memang tak
pernah memiliki murid dari Indonesia, tak seperti Indonesianis lain misalnya
Daniel Lev atau Benedict Anderson yang telah menghasilkan banyak anak didik
dari Indonesia. Tetapi, perhatian Geertz yang besar terhadap Indonesia sangat mempengaruhi
perkembangan diskursus ilmu sosial di negeri ini.
Latar Belakang Pemikiran
Untuk
memahami buku The Religion of Java tampaknya tidak akan lengkap tanpa
mengetahui terlebih dahulu latar belakang antropologi Geertz. Dan semua itu
akan tampak jelas dengan memperhatikan latar belakang pendidikan
antropologinya, yakni Harvard University. Melihat latar belakang
pendidikan Geertz di bidang antropologinya ini, tampaknya ide agama dan budaya
Geertz berkembang di bawah dua pengaruh utama, yaitu tradisi antroplogi Amerika
yang independen dan kuat, dan perspektif tentang ilmu sosial yang ia jumpai
saat belajar di Harvard dibawah teoritisi terkemuka, Talcott Parsons.
Dalam
tradisi antropologi Amerika, ditegaskan bahwa setiap teori harus berasal dari
etnografi “partikular” yang teliti, yaitu suatu studi yang berpusat pada satu
komunitas dan mungkin memakan waktu bertahun-tahun atau berpuluh-puluh tahun
untuk menyelesaikannya. Disamping kerja lapangan, para perintis antropologi
Amerika juga memberi tekanan pada “budaya” sebagai unit kunci studi
antropologi. Mereka menegaskan bahwa di dalam studi lapangan, mereka tidak
hanya meneliti sebuah masyarakat, tetapi juga suatu sistem ide, adat istiadat,
sikap, simbol, dan institusi yang lebih luas dimana masyarakat hanyalah suatu
bagian. Dan saat mahasiswa, tentu saja Geertz telah menyerap sebagian besar
ide-ide utama para perintis antropologi Amerika seperti Boas, Kroeber, Lowie
dan Benedict kedalam perspektif antropologinya.
Adapun
terhadap perspektif ilmu sosial, tampaknya Talcott Parsons –gurunya di Harvard-
telah bertindak sebagai penyalur ide-ide Weber kepada Geertz. Parson ini
merupakan teoritisi sosial terkemuka Amerika waktu itu yang sangat terpengaruh
oleh sosiolog besar asal Jerman, Max Weber. Parson ini juga yang telah
menerbitkan studi-studi orisinil dan brilian tentang hubungan antara agama dan
masyarakat. Parson ini pula yang menerjemahkan beberapa karya Weber serta
menjelaskan ide-ide pokoknya.
Dari
Parson ini, Geertz diperkenalkan dengan ide-ide Weber, terutama tentang
pandangan Max Weber bahwa manusia adalah makhluk yang terjebak dalam jejaring (web)
makna yang mereka buat sendiri, maka budaya adalah jejaring itu. Dari pandangan
ini, Geertz kemudian mencoba mengelaborasi pengertian kebudayaan sebagai pola makna
(pattern of meaning) yang diwariskan secara historis dan tersimpan dalam
simbol-simbol yang dengan itu manusia kemudian berkomunikasi, berperilaku dan
memandang kehidupan. Lebih lanjut Geertz juga berpendapat bahwa untuk memahami
dunia manusia yang sarat makna, tidak cukup dengan mengandalkan logika positivisme
tetapi juga harus melibatkan metode penafsiran atas motivasi aktor penciptanya
serta berbagai komponen yang turut membentuk jaringan makna dimana aktor
tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dari komunitasnya. Bertolak dari
pemikiran seperti ini, tidaklah mengherankan jika kemudian analisis Geertz
tentang kebudayaan dan manusia tidaklah berupaya menemukan hukum-hukum seperti
di ilmu-ilmu alam, melainkan kajian intepretatif untuk mencari makna (meaning).
Dibawah
pengaruh pemikiran ala Weberian dan juga tradisi antropologi Amerika ini,
Geertz tertarik untuk memfokuskan diri pada interpretasi simbol-simbol yang
diyakininya memberikan arti dan aturan kehidupan masyarakat. Namun begitu,
tampaknya Geertz tidak hanya mau menerima teori-teori dari para pendahulunya
secara taken for granted, dimana dia ternyata mencoba menyimpang dari
tradisi antropologi sebelumnya yang memberi perhatian utama kepada kelompok
suku, atau pemukiman di sebuah pulau terpencil, komunitas kecil petani atau
penggembala, atau suku-suku terasing yang cenderung menghilang. Sebaliknya,
Geertz justru lebih tertarik memperhatikan bagaimana aspek-aspek kehidupan yang
berbeda bercampur dalam suatu kesatuan budaya dalam menyiapkan deskripsi yang
detail dan sistematis tentang masyarakat non-Barat.
Kaitannya
dengan pemilihan kota “Mojokuto” sebagai obyek penelitiannya, menurut Geertz
itu hanya sebuah kebetulan belaka. Namun begitu, menurut Nono Makarim –salah
seorang murid Geertz di Harvard dan juga pernah napak tilas Geertz di Pare-
pemilihan Indonesia adalah karena Indonesia pada tahun 1950-an dianggap sebagai
salah satu negara yang memiliki konstitusi yang paling maju di dunia, yang
menjamin kebebasan dan kaya akan budaya dan model keberagamaannya. Kemudian,
“Mojokuto” dipilih untuk memberikan kontras terhadap kecenderungan tradisi
antropologi Amerika, karena kota kecil itu mempunyai penduduk yang melek huruf,
dengan tradisi yang tua, urban, sama sekali tidak homogen serta sadar dan aktif
secara politik. Di sana tampak jelas kebudayaan bukanlah sesuatu yang serba
utuh dan padu, melainkan penuh variasi dan diferensiasi yang sangat jauh dari
pengertian kebudayaan sebagai kesatuan pola tingkah laku yang terdapat pada
suatu kelompok orang.
Diakui,
“Mojokuto” ini memang merupakan suatu kota kecil di Jawa Timur yang tak bisa
mewakili kebudayaan Jawa secara keseluruhan. Namun bagi Geertz, “Mojokuto”
merupakan suatu tempat di mana makna “kejawaan” itu dibumikan. “Mojokuto”
begitu complicated akibat benturan budaya, dimana Islam, Hinduisme, dan
tradisi animisme pribumi “berbaur” dalam satu sistem sosial.
Dalam
upayanya untuk menguak fenomena menarik berkenaan dengan masyarakat di
Mojokuto, Geertz melihatnya sebagai suatu sistem sosial dengan kebudayaannya
yang akulturatif dan agamanya yang sinkretik, yang terdiri atas
sub-kebudayaan Jawa yang masing-masing merupakan struktur-struktur sosial yang
berlainan. Struktur-struktur sosial yang dimaksud adalah Abangan (yang
intinya berpusat di pedesaan), Santri (yang intinya berpusat di tempat
perdagangan atau pasar), Priyayi (yang intinya berpusat di kantor
pemerintahan, di kota). Namun demikian, ketiga inti struktur sosial di
Jawa; desa, pasar, dan birokrasi pemerintah pada masa itu oleh Geertz dipandang
dalam pengertian yang luas.
Menurut
Geertz, tiga tipe kebudayaan –abangan, santri, dan priyayi- merupakan cerminan
organisasi moral kebudayaan Jawa, dimana ketiganya ini merupakan hasil
penggolongan penduduk Mojokuto berdasarkan pandangan mereka, yakni kepercayaan
keagamaan, preferensi etnis dan ideologi politik. Selain itu, di Mojokuto ini
juga terdapat lima jenis mata pencaharian utama –petani, pedagang kecil,
pekerja tangan yang bebas, buruh kasar dan pegawai, guru atau administratur-
yang kesemuanya mencerminkan dasar organisasi sistem ekonomi kota ini dan
darimana tipologi ini dihasilkan.
Dengan
kenyataan tersebut diatas serta berbekal kerangka pikir ala Weberian, tampaknya
Geertz melihat bahwa dibalik pernyataan sederhana penduduk Jawa yang 90 % beragama
Islam, sesungguhnya terdapat variasi dalam sistem kepercayaan, nilai, dan
upacara yang berkaitan dengan masing-masing struktur sosial tersebut. Oleh
karena itu, masalah-masalah yang perlu dirumuskan dalam penelitian di Mojokuto
ini adalah sebagai berikut:
- Sejauhmana realitas kemajuan, kedalaman dan kekayaan kehidupan spiritual masyarakat Jawa –yang notabenenya lebih dulu mengalami peradaban daripada Inggris?
- Bagaimana hubungan antara struktur-struktur sosial yang ada dalam suatu masyarakat dengan pengorganisasian dan perwujudan simbol-simbol?
- Bagaimana para anggota masyarakat mewujudkan adanya integrasi dan disintegrasi dengan cara mengorganisasi dan mewujudkan simbol-simbol tertentu?
Metode Penelitian Geertz
Secara
tersurat –sebagaimana ditulis Parsudi Suparlan- Geertz memang tidak mengatakan
kerangka teori apa yang dipakai. Namun demikian, penelitian lapangan yang
dilakukan dalam rangka penyusunan laporan untuk disertasi doktoralnya di
Departemen Hubungan Sosial Universitas Harvard ini, tampaknya Geertz
menggunakan penelitian kualitatif, dengan pendekatan yang berorientasi hermeneutik,
yang belakangan dikenal dengan pendekatan interpretif. Dengan pendekatan
interpretif ini, Geertz melihat kebudayaan sebagai sistem pemaknaan yang harus
dipahami secara semiotik, yakni sebagai jejaring makna (webs of
significance) atau pola-pola makna yang terwujud sebagai simbol-simbol
sehingga analisis terhadapnya haruslah bersifat interpretif, yakni untuk
menelusuri makna dan menemukan maksud di balik apa yang dilakukan orang, signifikansi
ritual, struktur, dan kepercayaannya bagi semua kehidupan dan pemikiran
Adapun
untuk mengurai jejaring makna tersebut, Geertz menggunakan teori “Skismatik dan
Aliran”. Namun begitu, Teori Skismatik Geertz ini sedikit berbeda dengan teori
skismatik-nya Robert Jay, dimana menurut Teori Skismatik Jay, akar-akar
konfrontasi (skisma) antara santri dan abangan bermula dari proses islamisasi
awal di berbagai tempat, khususnya Jawa. Wilayah-wilayah yang pada umumnya
pengaruh Hindu-Budha-nya tipis –terutama daerah-daerah pesisir utara Jawa,
telah mengkonversi Islam secara total dan menerima apa adanya. Sehingga,
mereka-mereka ini kelak akan menjadi kekuatan Islam yang skripturalis,
atau lebih tepat disebut “santri”. Sebaliknya, untuk wilayah-wilayah tertentu
di pedalaman dimana kekuatan Hindu-Budha-nya cukup kuat terutama daerah-daerah
pedalaman, seringkali menunjukkan antara Islam dan kekuatan lokal saling
melakukan penetrasi. Sehingga kemudian transformasi sosial-budaya dan agama
menjadi sesuatu yang sinkretik dan pada akhirnya banyak melahirkan
kelompok-kelompok abangan.
Clifford
Geertz mengelaborasi kenyataan ini lebih jauh lagi, bahwa ternyata skismatik
sebagai fenomena pertarungan antara Islam dan kekuatan lokal, pada
dimensi-dimensi tertentu sebenarnya tidak bisa menggambarkan secara utuh
kenyataan Islam di Jawa. Ternyata masih ada kekuatan lain selain abangan dan
santri dalam kenyataan sosial budaya masyarakat Jawa, yakni kelompok “priyayi”.
Kelompok ini dalam keseharian, memiliki sejumlah karakter yang berbeda seperti
apa yang biasa dilakukan oleh para santri dan abangan.
Adapun
mengenai metode kerja yang digunakan Geertz dalam penyusunan buku The
Religion of Java ini, sebagaimana yang diungkapkan oleh Geertz sendiri,
meliputi tiga tahapan. Tahap Pertama, Persiapan intensif dalam Bahasa
Indonesia di Universitas Harvard, yang kemudian dilanjutkan dengan mewawancarai
sarjana-sarjana Belanda yang ahli tentang Indonesia di Universitas Leiden dan
di Tropical Institute, Amsterdam, pada bulan Juli sampai Oktober 1952.
Tahap
Kedua, dari bulan
Oktober 1952 sampai Mei 1953 mempelajari bahasa Jawa di Yogyakarta dengan
mempergunakan mahasiswa-mahasiswa UGM sebagai media untuk memperoleh
pengetahuan umum mengenai kebudayaan dan kehidupan kota Jawa. Pada tahap ini
juga dilakukan wawancara dengan pemimpin-pemimpin agama dan politik di Jakarta,
sekaligus mengumpulkan statistik dan menyelidiki organisasi birokrasi
pemerintah pada umumnnya dan Departemen Agama pada khususnya.
Tahap
Ketiga, antara Mei
1953 sampai September 1954, yang merupakan masa penelitian lapangan yang
sesungguhnya, dan dilakukan di Mojokuto. Dalam tahap ini, Geertz beserta
istrinya tinggal di rumah seorang buruh kereta api di ujung kota
Selama
berada di Mojokuto ini, Geertz mengaku bahwa pengumpulan data dalam
penelitiannya –sebagian besar- tidak dilakukan melalui wawancara resmi dengan
informan khusus, tetapi lebih sering dilakukan dengan kegiatan
observasi-partisipasi. Hal ini dibuktikan dengan pengakuan Geertz yang sering
mengikuti perayaan umum, rapat-rapat organisasi, upacara-upacara dan sebagainya
Dengan
demikian, setelah membaca buku “Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat
Jawa” serta sumber-sumber lain, secara umum dapat disimpulkan bahwa metode
yang digunakan oleh Geertz dalam penelitian lapangan ini adalah penguasaan
bahasa lokal, pemanfaatan banyak informan lokal, pembagian tugas dengan tim
peneliti lain, pendalaman topik-topik tertentu yang membutuhkan detail, dan
pengumpulan data-data statistik. Dan bagian terbesarnya digunakan untuk
kegiatan observasi-partisipatif.
Agama Masyarakat Jawa Menurut Geertz
Setelah
melakukan penelitian lapangan di Mojokuto dari bulan Mei 1953 sampai bulan
September 1954, yang kemudian diajukan sebagai disertasi doktoral dan
diterbitkan dengan judul The Religion of Java, tampak ada beberapa hal
yang menarik untuk dikaji, antara lain:
1.
Agama sebagai fakta
budaya
Clifford
Geertz dalam antropologi budaya kehidupan Jawa, ia melihat agama sebagai fakta
budaya –bukan semata-mata sebagai ekspresi kebutuhan sosial, ketegangan ekonomi
atau neurosis tersembunyi --meskipun hal-hal ini juga
diperhatikan—melalui simbol, ide, ritual, dan adat kebiasaanya. Agama juga
bukan hanya berkutat dengan wacana kosmis tentang asal-usul manusia, surga, dan
neraka, tetapi juga merajut perilaku politik saat memilih partai, jenis
perhelatan, dan corak paguyuban. Praktik-praktik beragama seperti itulah yang
memberi semacam “peta budaya” untuk melacak jaringan sosial yang dibentuk oleh
warga. Realitas keagamaan dalam keseharian, menurut perspektif Geertz,
sangat pluralistis daripada doktrin formal yang menekankan wacana standar yang
global.
Selain
itu, menurut Geertz, agama tidak hanya memainkan peranan yang integratif dan
menciptakan harmoni sosial tapi juga peranan memecah masyarakat. Dengan
demikian ketiga varian agama “Jawa” di Mojokuto itu mempunyai peranan yang
saling kontradiksi.
2.
Trikotomi budaya
(agama?) “Jawa”
Dalam
buku Abangan, Santri, Priyayi dalam masyarakat Jawa, Geertz juga
menyuguhkan fenomena agama “Jawa” ke dalam tiga varian utama: abangan, santri,
dan priyayi. Trikotomi agama “Jawa” itulah yang sampai sekarang terus
disebut-sebut dalam wacana sosial, politik, dan budaya di Indonesia dan
menjadikannya referensi induk atas upaya ilmuwan sosial di belakangnya yang
membedah tentang Jawa. Kekuatan utama Geertz mengungkap fenomena agama “Jawa”
adalah kemampuan mendeskripsikan secara detail ketiga varian tersebut dan
menyusun ulang dalam konklusi hubungan konflik dan integrasi yang logis dan
utuh atas ketiga varian tersebut.
3.
Hubungan antara Islam
dan masyarakat Jawa
Salah
satu yang mengedepan dari konsepsi Geertz adalah pandangannya tentang dinamika
hubungan antara Islam dan masyarakat Jawa yang sinkretik. Sinkretisitas
tersebut nampak dalam pola dari tindakan orang Jawa yang cenderung tidak hanya
percaya terhadap, hal-hal gaib dengan seperangkat ritual-ritualnya, akan tetapi
juga pandangannya bahwa alam diatur sesuai dengan hukum-hukumnya dengan manusia
selalu terlibat di dalamnya. Hukum-hukum itu yang disebut sebagai numerologi.
Melalui numerologi inilah manusia melakukan serangkaian tindakan yang tidak
boleh bertentangan dengannya. Hampir seluruh kehidupan orang Jawa di-setting
berdasarkan hitungan-hitungan yang diyakini keabsahannya. Kebahagiaan atau
ketidakbahagian hidup di dunia ditentukan oleh benar atau tidaknya pedoman
tersebut dilakukan dalam kehidupan. Penggunaan numerologi yang khas Jawa itu
menyebabkan adanya asumsi bahwa orang jawa tidak dengan segenap fisik dan
batinnya ketika memeluk Islam sebagai agamanya. Di sinilah awal mula
“perselingkuhan” antara dua keyakinan: Islam dan budaya Jawa.
Apresiasi
untuk Geertz
Tidak
bisa disangkal, Clifford Geertz sangat mempengaruhi pemikiran
banyak orang tentang budaya. Geertz menggambarkan bagaimana simbol-simbol mempengaruhi
dan membentuk kehidupan sosial. Hanya saja, Geertz tidak memberikan banyak
perhatian pada proses sebaliknya, yaitu bagaimana realitas sosial dan si pelaku
dalam realitas itu mempengaruhi dan membentuk simbol-simbol. Sebenarnya,
manusia ditentukan oleh budaya-budaya dan budaya juga ditentukan oleh manusia.
Budaya dan manusia dikonstruksi melalui proses yang sering disebut ‘praksis’,
yaitu sebuah konsep yang menekankan adanya hubungan timbal balik antara si
pelaku aktif dengan kebudayaan sebagai struktur obyektif. Proses itu juga bisa
dijelaskan dengan tiga prinsip yang dikemukakan oleh Peter L. Berger & Thomas Luckmann:
a. Kebudayaan dibentuk oleh manusia;
b. Manusia dibentuk oleh kebudayaan;
c.
Kebudayaan menjalani hidup sendiri.
Dari ketiga prinsip tersebut dapat dijelaskan bahwa
budaya memerlukan manusia sebagai aktor untuk diproduksikan dan
direproduksikan melalui proses pemberian makna terhadap kehidupannya. Manusia
tidak hanya dikondisikan oleh budaya-budaya, baik secara sadar atau tidak
sadar, tetapi manusia juga dapat mempengaruhi budaya. Manusia bisa mengubah dan
menambahkan nilai dan norma, meskipun akan menghadapi struktur-struktur yang
tidak dapat diubah dengan mudah.
Kaitannya
dengan “trikotomi yang dibuat Geertz, tentunya bukan Geertz yang menemukan
istilah santri, abangan, dan priyayi dalam The Religion of Java, karena
istilah-istilah itu sendiri sudah dipakai di kalangan yang lebih terbatas.
Namun, harus diakui Geertz-lah yang pertama kali mensistematisasi
istilah-istilah itu sebagai perwakilan kelompok-kelompok kultural yang penting.
Sebagai
sebuah konsepsi, harus diakui pula bahwa trikotomi Geertz ini adalah sebuah
sumbangan yang luar biasa bagi masyarakat Jawa khususnya, dan Indonesia pada
umumnya karena mampu memberikan semacam “peta budaya” yang selanjutnya dapat
digunakan untuk menganalisa bagaimana pola hubungan antara agama dengan
politik, relasi agama-sosial, serta agama-ekonomi. Namun demikian, tesis
“trikotomisasi” Geertz tampak sekali membuka peluang untuk diperdebatkan. Hal
ini terbukti dengan “keberhasilan” teori Geertz itu dalam memantik berbagai reaksi,
baik yang pro maupun yang kontra. Di antara yang menolak konsepsi Geertz adalah
Harsja W. Bachtiar, ahli sejarah sosial, yang mencoba mengkontraskan konsepsi
Geertz dengan realitas sosial.
Di
antara konsepsi yang ditolaknya adalah mengenai pencampuran istilah priyayi
(yang merupakan kategori kelas) dengan istilah santri dan abangan
(kategori keagamaan. Abangan adalah lawan dari mutihan, sebagai
kategori ketaatan beragama dan bukan klasifikasi sosial. Demikian pula konsep priyayi
juga berlawanan dengan wong cilik dalam penggolongan sosial. Jadi,
terdapat kekacauan dalam penggolongan abangan, santri dan priyayi Dengan demikian dapat dikatakan bahwa salah
satu kelemahan tulisan Geertz ini adalah terdapatnya ketidakparalelan dalam
susunan kategorisasi. Di satu sisi terdapat strata “ekonomi” untuk
menggambarkan priyayi, sementara di sisi lain terdapat kategori “religi”
ketika dia menggambarkan santri dan abangan. Hal ini berarti
Geertz telah mengacaukan dua pembagian yang termasuk susunan yang berlainan,
serta mencampuradukkan pembagian horisontal dan vertikal dalam masyarakat Jawa
karena pada kenyataannya terdapat priyayi yang abangan atau priyayi
yang santri.
Terlepas
dari berbagai kritik terhadap teori Geertz, tampaknya kita patut memberikan
penghargaan kepadanya atas pandangannya mengenai tipologi masyarakat Indonesia
(Jawa). Lewat buah pengamatan Geertz yang dituangkan dalam buku The Religion
of Java ini keberadaan abangan, santri, dan priyayi di masyarakat Jawa
dikenal luas. Dan dari laporan Geertz ini pula, kita “dikejutkan” dengan
sebuah kenyataan bahwa muslim “Mojokuto” (Indonesia?) walaupun mayoritas tetapi
masih abangan, dimana hanya lapisan atasnya saja yang Islam, sementara di
lapisan bawahnya kejawen.
Lebih
dari itu semua, Geertz telah memberikan kontribusi pemikiran yang sangat besar
terhadap ilmu-ilmu sosial di Indonesia dan dunia, khususnya antropologi dan
sosiologi, karena keberaniannya melawan suatu tradisi besar di dalam ilmu
sosial, yaitu tradisi positivisme yang sarat dengan pendekatan kuantitatif.
Seandainya Geertz dan pendekatan Antropologi Interpretif tak ada, mungkin kita
akan tetap membaca buku-buku teks antropologi dan sosiologi yang memperlakukan
budaya sebagai suatu gejala universal dengan narasi besar tanpa melihat
bagaimana secara kontekstual dan secara historis kultur-kultur lokal itu
“dibangun.”
2.
Cornelis
Van Vollenhoven Tentang Hukum Adat Di Indonesia
Cornelis
van Vollenhoven
(lahir di Dordrecht, Belanda, 8 Mei
1874 – meninggal di Leiden,
Belanda, 29 April 1933
pada umur 58 tahun) adalah seorang antropolog Belanda yang dikenal akan karyanya "Hukum Adat" di Hindia-Belanda sehingga ia dijuluki "Bapak
Hukum Adat".
Kebanyakan
masa hidupnya difokuskan untuk mempelajari hukum adat Indonesia dan kemudian mengampanyekan
pelestariannya. Tulisan-tulisannya umumnya berkaitan dengan hukum adat, seperti
Het Ontdekking van Adatrecht, Orientatie in het Adatrecht van
Nederlandsch-Indie (1913). Mahakaryanya adalah kumpulan tulisan yang
berjilid-jilid Het Adatrecht van Nederlandsch-Indië ("Hukum Adat
Hindia Belanda") yang berisi kajian dan kumpulan hukum adat dari 19
lingkungan adat di Hindia Belanda yang berbeda dari tradisi adat kaum
pendatang (Vreemde
Oosterlingen-
Kaum Timur Asing, seperti suku Arab, Tionghoa, dan India). Yang mengagumkan adalah kenyataan
bahwa sebagian besar karyanya dikerjakan di Leiden. Van Vollenhoven hanya dua
kali mengunjungi Hindia-Belanda, yaitu pada 1907
dan 1923.
Hukum
Adat
Hukum adat
adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia
dan negara-negara Asia lainnya seperti Jepang,
India, dan Tiongkok. Hukum adat adalah hukum asli bangsa
Indonesia. Sumbernya adalah
peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan
berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena
peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat
memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis. Selain itu dikenal pula masyarakat
hukum adat yaitu sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya
sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal
ataupun atas dasar keturunan.
Terminologi
Ada
dua pendapat mengenai asal kata adat ini. Disatu pihak ada yang
menyatakan bahwa adat diambil dari bahasa Arab
yang berarti kebiasaan. Sedangkan menurut Prof.
Amura, istilah ini
berasal dari bahasa Sansekerta karena menurutnya istilah ini telah
dipergunakan oleh orang Minangkabau kurang lebih 2000 tahun yang lalu.
Menurutnya adat berasal dari dua kata, a dan dato. A
berarti tidak dan dato berarti sesuatu yang bersifat kebendaan.
Perdebatan istilah Hukum Adat
Hukum
Adat dikemukakan pertama kali oleh Prof. Snouck Hurgrounje seorang Ahli Sastra Timur dari Belanda (1894).
Sebelum istilah Hukum Adat berkembang, dulu dikenal istilah Adat Recht. Prof. Snouck Hurgrounje dalam bukunya de atjehers
(Aceh) pada tahun 1893-1894
menyatakan hukum rakyat Indonesia yang tidak dikodifikasi adalah de
atjehers.
Kemudian
istilah ini dipergunakan pula oleh Prof.
Mr. Cornelis van Vollenhoven,
seorang Sarjana Sastra yang juga Sarjana Hukum yang pula menjabat sebagai Guru
Besar pada Universitas
Leiden di Belanda. Ia memuat istilah Adat Recht
dalam bukunya yang berjudul Adat Recht van Nederlandsch Indie (Hukum
Adat Hindia Belanda) pada tahun 1901-1933.
Perundang-undangan
di Hindia
Belanda secara resmi
mempergunakan istilah ini pada tahun 1929
dalam Indische Staatsregeling (Peraturan Hukum Negeri Belanda), semacam Undang Undang Dasar Hindia Belanda, pada pasal 134 ayat (2) yang
berlaku pada tahun 1929.
Dalam
masyarakat Indonesia, istilah hukum
adat tidak dikenal adanya. Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa istilah tersebut hanyalah istilah
teknis saja. Dikatakan demikian karena istilah tersebut hanya tumbuh dan
dikembangkan oleh para ahli hukum dalam rangka mengkaji hukum
yang berlaku dalam masyarakat Indonesia yang kemudian dikembangkan ke dalam
suatu sistem keilmuan.
Dalam
bahasa Inggris dikenal juga istilah Adat Law,
namun perkembangan yang ada di Indonesia sendiri hanya dikenal istilah Adat
saja, untuk menyebutkan sebuah sistem hukum yang dalam dunia ilmiah dikatakan
Hukum Adat.
Pendapat
ini diperkuat dengan pendapat dari Muhammad Rasyid Maggis Dato Radjoe Penghoeloe sebagaimana dikutif oleh Prof.
Amura : sebagai
lanjutan kesempuranaan hidupm selama kemakmuran berlebih-lebihan karena
penduduk sedikit bimbang dengan kekayaan alam yang berlimpah ruah, sampailah
manusia kepada adat.
Sedangkan
pendapat Prof.
Nasroe menyatakan
bahwa adat Minangkabau telah dimiliki oleh mereka sebelum
bangsa Hindu datang ke Indonesia dalam abad ke satu tahun masehi.
Prof. Dr. Mohammad Koesnoe, S.H. di dalam bukunya mengatakan bahwa
istilah Hukum Adat telah dipergunakan seorang Ulama Aceh[1] yang bernama Syekh Jalaluddin bin Syekh Muhammad Kamaluddin Tursani (Aceh Besar) pada tahun 1630.[2] Prof.
A. Hasymi menyatakan
bahwa buku tersebut (karangan Syekh Jalaluddin) merupakan buku yang mempunyai
suatu nilai tinggi dalam bidang hukum yang baik.
Perdebatan Definisi Hukum Adat
Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia,
adat adalah aturan (perbuatan dsb) yg lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu
kala; cara (kelakuan dsb) yg sudah menjadi kebiasaan; wujud gagasan kebudayaan
yg terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yg satu dng
lainnya berkaitan menjadi suatu sistem. Karena istilah Adat yang telah diserap
kedalam Bahasa Indonesia menjadi kebiasaan maka istilah hukum adat dapat
disamakan dengan hukum
kebiasaan.[3]
Namun menurut Van
Dijk, kurang tepat
bila hukum adat diartikan sebagai hukum
kebiasaan.[4]
Menurutnya hukum
kebiasaan adalah
kompleks peraturan hukum yang timbul karena kebiasaan berarti demikian lamanya
orang bisa bertingkah laku menurut suatu cara tertentu sehingga lahir suatu
peraturan yang diterima dan juga diinginkan oleh masyarakat. Jadi, menurut Van
Dijk, hukum adat dan
hukum
kebiasaan itu
memiliki perbedaan.
Sedangkan menurut Soejono Soekanto, hukum adat hakikatnya merupakan hukum kebiasaan, namun
kebiasaan yang mempunyai akhibat hukum (das sein das sollen).[5]
Berbeda dengan kebiasaan (dalam arti biasa), kebiasaan yang merupakan penerapan
dari hukum adat adalah perbuatan-perbuatan yang dilakukan berulang-ulang dalam
bentuk yang sama menuju kepada Rechtsvaardige Ordening Der Semenleving.
Menurut Ter
Haar yang terkenal
dengan teorinya Beslissingenleer (teori keputusan)[6] mengungkapkan bahwa hukum adat
mencakup seluruh peraturan-peraturan yang menjelma didalam keputusan-keputusan
para pejabat hukum yang mempunyai kewibawaan dan pengaruh, serta didalam
pelaksanaannya berlaku secara serta merta dan dipatuhi dengan sepenuh hati oleh
mereka yang diatur oleh keputusan tersebut. Keputusan tersebut dapat berupa
sebuah persengketaan, akan tetapi juga diambil berdasarkan kerukunan dan
musyawarah. Dalam tulisannya Ter
Haar juga menyatakan
bahwa hukum adat dapat timbul dari keputusan warga masyarakat.
Syekh Jalaluddin[7] menjelaskan bahwa hukum adat
pertama-tama merupakan persambungan tali antara dulu dengan kemudian, pada
pihak adanya atau tiadanya yang dilihat dari hal yang dilakukan berulang-ulang.
Hukum adat tidak terletak pada peristiwa tersebut melainkan pada apa yang tidak
tertulis dibelakang peristiwa tersebut, sedang yang tidak tertulis itu adalah
ketentuan keharusan yang berada dibelakang fakta-fakta yang menuntuk bertautnya
suatu peristiwa dengan peristiwa lain.
Definisi Hukum Adat
Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven
Menurut
Prof.
Mr. Cornelis van Vollenhoven,
hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang disatu pihak
mempunyai sanksi (hukum) dan dipihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasi
(adat). Tingkah laku positif memiliki makna hukum yang dinyatakan berlaku
disini dan sekarang. Sedangkan sanksi yang dimaksud adalah reaksi (konsekuensi)
dari pihak lain atas suatu pelanggaran terhadap norma (hukum). Sedang
kodifikasi dapat berarti sebagai berikut.
·
menurut
Kamus
Besar Bahasa Indonesia
kodifikasi berarti himpunan berbagai peraturan menjadi undang-undang; atau hal
penyusunan kitab perundang-undangan; atau penggolongan hukum dan undang-undang
berdasarkan asas-asas tertentu dl buku undang-undang yg baku.
·
menurut
Prof.
Djojodigoeno
kodifikasi adalah pembukuan secara sistematis suatu daerah / lapangan bidang hukum
tertentu sebagai kesatuan secara bulat (semua bagian diatur), lengkap (diatur
segala unsurnya) dan tuntas (diatur semua soal yang mungkin terjadi).
Ter Haar
Ter
Haar membuat dua
perumusan yang menunjukkan perubahan pendapatnya tentang apa yang dinamakan
hukum adat.
·
Hukum
adat lahir dan dipelihara oleh keputusan-keputusan warga masyarakat hukum adat,
terutama keputusan yang berwibawa dari kepala-kepala rakyat (kepala adat) yang
membantu pelaksanaan-pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum, atau dalam hal
pertentangan kepentingan keputusan para hakim yang bertugas mengadili sengketa,
sepanjang keputusan-keputusan tersebut karena kesewenangan atau kurang
pengertian tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat, melainkan senafas
dan seirama dengan kesadaran tersebut, diterima, diakui atau setidaknya
tidak-tidaknya ditoleransi.[8]
·
Hukum
adat yang berlaku tersebut hanya dapat diketahui dan dilihat dalam bentuk
keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (kekuasaan tidak terbatas pada dua
kekuasaan saja, eksekutif dan yudikatif) tersebut. Keputusan tersebut tidah
hanya keputusan mengenai suatu sengketa yang resmi tetapi juga diluar itu
didasarkan pada musyawarah (kerukunan). Keputusan ini diambil berdasarkan
nilai-nilai yang hidup sesuai dengan alam rohani dan hidup kemasyarakatan
anggota-anggota persekutuan tersebut.[9]
Lingkungan Hukum Adat
Prof.
Mr. Cornelis van Vollenhoven
membagi Indonesia menjadi 19 lingkungan hukum adat (rechtsringen).
Satu daerah yang garis-garis besar, corak dan sifat hukum adatnya seragam
disebutnya sebagai rechtskring. Setiap lingkungan hukum adat tersebut
dibagi lagi dalam beberapa bagian yang disebut Kukuban
Hukum (Rechtsgouw).
Lingkungan hukum adat tersebut adalah sebagai berikut.
- Aceh (Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, Semeuleu)
- Tanah Gayo, Alas dan Batak
- Tanah Gayo (Gayo lueus)
- Tanah Alas
- Tanah Batak (Tapanuli)
- Tapanuli Utara; Batak Pakpak (Barus), Batak karo, Batak Simelungun, Batak Toba (Samosir, Balige, Laguboti, Lumbun Julu)
- Tapanuli Selatan; Padang Lawas (Tano Sepanjang), Angkola, Mandailing (Sayurmatinggi)
- Nias (Nias Selatan)
- Tanah Minangkabau (Padang, Agam, Tanah Datar, Limapuluh Kota, tanah Kampar, Kerinci)
- Mentawai (Orang Pagai)
- Sumatera Selatan
- Bengkulu (Renjang)
- Lampung (Abung, Paminggir, Pubian, Rebang, Gedingtataan, Tulang Bawang)
- Palembang (Anak lakitan, Jelma Daya, Kubu, Pasemah, Semendo)
- Jambi (Batin dan Penghulu)
- Enggano
- Tanah Melayu (Lingga-Riau, Indragiri, Sumatera Timur, Orang Banjar)
- Bangka dan Belitung
- kalimantan (Dayak Kalimantan Barat, Kapuas, Hulu, Pasir, Dayak, Kenya, Dayak Klemanten, Dayak Landak, Dayak Tayan, Dayak Lawangan, Lepo Alim, Lepo Timei, Long Glatt, Dayat Maanyan, Dayak Maanyan Siung, Dayak Ngaju, Dayak Ot Danum, Dayak Penyambung Punan)
- Gorontalo (Bolaang Mongondow, Boalemo)
- Tanah Toraja (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja Baree, Toraja Barat, Sigi, Kaili, Tawali, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang, Kep. Banggai)
- Sulawesi Selatan (Orang Bugis, Bone, Goa, Laikang, Ponre, Mandar, Makasar, Selayar, Muna)
- Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore, Halmahera, Tobelo, Kep. Sula)
- Maluku Ambon (Ambon, Hitu, Banda, Kep. Uliasar, Saparua, Buru, Seram, Kep. Kei, Kep. Aru, Kisar)
- Irian
- Kep. Timor (Kepulauan Timor, Timor, Timor Tengah, Mollo, Sumba, Sumba Tengah, Sumba Timur, Kodi, Flores, Ngada, Roti, Sayu Bima)
- Bali dan Lombok (Bali Tanganan-Pagrisingan, Kastala, Karrang Asem, Buleleng, Jembrana, Lombok, Sumbawa)
- Jawa Pusat, Jawa Timur serta Madura (Jawa Pusat, Kedu, Purworejo, Tulungagung, Jawa Timur, Surabaya, Madura)
- Daerah Kerajaan (Surakarta, Yogyakarta)
- Jawa Barat (Priangan, Sunda, Jakarta, Banten)[10]
Penegak hukum adat
Penegak
hukum adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat disegani dan besar
pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat untuk menjaga keutuhan hidup
sejahtera.
Aneka Hukum Adat
Hukum
Adat berbeda di tiap daerah karena pengaruh
1. Agama : Hindu, Budha, Islam,
Kristen dan sebagainya. Misalnya : di Pulau Jawa dan Bali dipengaruhi
agama Hindu, Di Aceh dipengaruhi Agama Islam, Di Ambon dan Maluku dipengaruhi
agama Kristen.
2. Kerajaan seperti antara lain:
Sriwijaya, Airlangga, Majapahit.
3. Masuknya bangsa-bangsa Arab, China,
Eropa.
Pengakuan Adat oleh Hukum Formal
Mengenai
persoalan penegak hukum adat Indonesia, ini memang sangat prinsipil karena adat merupakan salah satu
cermin bagi bangsa, adat merupkan identitas bagi bangsa, dan identitas bagi
tiap daerah. Dalam kasus sala satu adat suku
Nuaulu yang terletak
di daerah Maluku Tengah, ini butuh kajian adat yang
sangat mendetail lagi, persoalan kemudian adalah pada saat ritual adat suku
tersebut, dimana proses adat itu membutuhkan kepala
manusia sebagai alat atau prangkat proses ritual adat suku Nuaulu tersebut.
Dalam penjatuhan pidana oleh sala satu Hakim pada Perngadilan Negeri Masohi di Maluku Tengah, ini pada penjatuhan hukuman
mati, sementara dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 tahun 2004.
dalam Pasal 28 hakim harus melihat atau mempelajari kebiasaan atau adat
setempat dalam menjatuhan putusan pidana terhadap kasus yang berkaitan dengan
adat setempat.
Dalam
kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan dikarenakan tuntutan masyarakat
adat maka pada tanggal 24 Juni 1999,
telah diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Peraturan
ini dimaksudkan untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan
kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian
masalah yang menyangkut tanah ulayat.
Peraturan
ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap "hak
ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat" sebagaimana
dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA. Kebijaksanaan tersebut meliputi :
1. Penyamaan persepsi mengenai "hak
ulayat" (Pasal 1)
2. Kriteria dan penentuan masih adanya
hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan 5).
3. Kewenangan masyarakat hukum adat
terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4)
Indonesia
merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, dimana diakui
keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam prakteknya
(deskritif) sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk mengelola
ketertiban di lingkungannya.
Di
tinjau secara preskripsi (dimana hukum adat dijadikan landasan dalam menetapkan
keputusan atau peraturan perundangan), secara resmi, diakui keberadaaanya namun
dibatasi dalam peranannya. Beberapa contoh terkait adalah UU dibidang agraria
No.5 / 1960 yang mengakui keberadaan hukum adat dalam kepemilikan tanah.
3.
Abraham
Maslow Tentang 8 tahap kebutuhan Dasar
Manusia
Abraham Maslow (1908
- 1970) adalah teoretikus yang banyak memberi inspirasi dalam
teori kepribadian. Ia juga seorang psikolog yang berasal dari Amerika dan
menjadi seorang pelopor aliran psikologi humanistik. Ia terkenal dengan teorinya tentang
hirarki kebutuhan manusia.
Abraham
Maslow dikenal sebagai pelopor aliran psikologi humanistik. Maslow percaya bahwa manusia tergerak untuk memahami dan menerima
dirinya sebisa mungkin. Teorinya yang sangat terkenal sampai dengan
hari ini adalah teori tentang Hierarchy of Needs atau Hirarki
Kebutuhan Kehidupan keluarganya dan pengalaman hidupnya memberi pengaruh
atas gagasan gagasan psikologisnya. Setelah perang dunia ke II, Maslow mulai
mempertanyakan bagaimana psikolog psikolog sebelumnya tentang pikiran manusia.
Walau tidak menyangkal sepenuhnya, namun ia memiliki gagasan sendiri untuk
mengerti jalan pikir manusia.
Psikolog
humanis percaya bahwa setiap orang memiliki keinginan yang kuat untuk
merealisasikan potensi potensi dalam dirinya, untuk mencapai tingkatan
aktualisasi diri. Untuk membuktikan bahwa manusia tidak hanya bereaksi terhadap
situasi yang terjadi di sekelilingnya, tapi untuk mencapai sesuatu yang lebih,
Maslow mempelajari seseorang dengan keadaan mental yang sehat, dibanding
mempelajari seseorang dengan masalah kesehatan mental. Hal ini menggambarkan bahwa manusia baru dapat mengalami "puncak
pengalamannya" saat manusia tersebut selaras dengan dirinya maupun
sekitarnya. Dalam pandangan Maslow, manusia yang mengaktualisasikan dirinya,
dapat memiliki banyak puncak dari pengalaman dibanding manusia yang kurang
mengaktualisasi dirinya.
Hirarki Kebutuhan
Interpretasi dari Hirarki Kebutuhan
Maslow yang direpresentasikan dalam bentuk piramida dengan kebutuhan yang lebih
mendasar ada di bagian paling bawah
Maslow
menggunakan piramida sebagai peraga untuk memvisualisasi
gagasannya mengenai teori hirarki kebutuhan. Menurut Maslow,
manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau hirarki, mulai
dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi.
Hirarki kebutuhan tersebut pertema
kali dipublikasikan pada tahun 1954, adalah sebagai berikut :
2. Kebutuhan akan rasa aman
3. Kebutuhan untuk dicintai dan
disayangi
4. Kebutuhan untuk dihargai
5. Kebutuhan untuk aktualisasi diri
Maslow
menyebut empat kebutuhan mulai dari kebutuhan fisiologis sampai kebutuhan harga
diri dengan sebutan homeostatis. Homeostatis adalah prinsip yang mengatur cara
kerja termostat (alat pengendali suhu). Kalau suhu terlalu dingin, alat itu
akan menyalakan penghangat, sebaliknya kalau suhu terlalu panas, ia akan
menyalakan dingin. Begitu pula dengan tubuh manusia, ketika manusia merasa
kekurangan bahan-bahan tertentu, dia akan merasa memerlukannya. Ketika dia
sudah cukup mendapatkannya, rasa butuh itu pun kemudian berhenti dengan
sendirinya.
Maslow
memperluas cakupan prinsip homeostatik ini kepada kebutuhan-kebutuhan tadi,
seperti rasa aman, cinta dan harga diri yang biasanya tidak kita kaitkan dengan
prinsip tersebut. Maslow menganggap kebutuhan-kebutuhan defisit tadi sebagai
kebutuhan untuk bertahan. Cinta dan kasih sayang pun sebenarnya memperjelas
kebutuhan ini sudah ada sejak lahir persis sama dengan insting.
Kebutuhan Fisiologis
Pada
tingkat yang paling bawah, terdapat kebutuhan yang bersifat fisiologik
(kebutuhan akan udara, makanan, minuman dan sebagainya) yang ditandai oleh
kekurangan (defisi) sesuatu dalam tubuh orang yang bersangkutan. Kebutuhan ini
dinamakan juga kebutuhan dasar (basic needs) yang jika tidak dipenuhi
dalam keadaan yang sangat estrim (misalnya kelaparan) bisa manusia yang
bersangkutan kehilangan kendali atas perilakunya sendiri karena seluruh
kapasitas manusia tersebut dikerahkan dan dipusatkan hanya untuk memenuhi
kebutuhan dasarnya itu. Sebaliknya, jika kebutuhan dasar ini relatif sudah
tercukupi, muncullah kebutuhan yang lebih tinggi yaitu kebutuhan akan rasa aman
(safety needs).
Kebutuhan Rasa Aman
Jenis
kebutuhan yang kedua ini berhubungan dengan jaminan keamanan, stabilitas,
perlindungan, struktur, keteraturan, situasi yang bisa diperkirakan, bebas dari
rasa takut dan cemas dan sebagainya. Karena adanya kebutuhan inilah maka
[[manusia[[ membuat peraturan, undang-undang, mengembangkan kepercayaan,
membuat sistem, asuransi, pensiun dan sebagainya. Sama halnya
dengan basic needs, kalau safety needs ini terlalu lama dan
terlalu banyak tidak terpenuhi, maka pandangan seseorang tentang dunianya bisa
terpengaruh dan pada gilirannya pun perilakunya akan cenderung ke arah yang
makin negatif.
Kebutuhan Dicintai dan Disayangi
Setelah
kebutuhan dasar dan rasa aman relatif dipenuhi, maka timbul kebutuhan untuk
dimiliki dan dicintai (belongingness and love needs). Setiap orang ingin
mempunyai hubungan yang hangat dan akrab, bahkan mesra dengan orang lain. Ia
ingin mencintai dan dicintai.[5] Setiap orang ingin setia kawan dan
butuh kesetiakawanan. Setiap orang pun ingin mempunyai kelompoknya sendiri,
ingin punya "akar" dalam masyarakat. Setiap orang butuh menjadi bagian
dalam sebuah keluarga, sebuah kampung, suatu marga,
dll. Setiap orang yang tidak mempunyai keluarga akan merasa sebatang kara,
sedangkan orang yang tidak sekolah dan tidak bekerja merasa dirinya pengangguran
yang tidak berharga. Kondisi seperti ini akan menurunkan harga diri orang yang
bersangkutan.
Kebutuhan Harga Diri
Di
sisi lain, jika kebutuhan tingkat tiga relatif sudah terpenuhi, maka timbul
kebutuhan akan harga diri (esteem needs). Ada dua macam kebutuhan akan
harga diri. Pertama, adalah kebutuhan-kebutuhan akan kekuatan, penguasaan,
kompetensi, percaya diri dan kemandirian. Sedangkan yang kedua adalah kebutuhan
akan penghargaan dari orang lain, status, ketenaran, dominasi, kebanggaan,
dianggap penting dan apresiasi dari orang lain. Orang-orang yang terpenuhi
kebutuhannya akan harga diri akan tampil sebagai orang yang percaya diri, tidak
tergantung pada orang lain dan selalu siap untuk berkembang terus untuk
selanjutnya meraih kebutuhan yang tertinggi yaitu aktualisasi diri (self
actualization).
Kebutuhan Aktualisasi Diri
Kebutuhan
ini merupakan kebutuhan yang terdapat 17 meta kebutuhan yang tidak tersusun
secara hirarki, melainkan saling mengisi. Jika berbagai meta kebutuhan tidak terpenuhi
maka akan terjadi meta patologi seperti apatisme, kebosanan, putus asa, tidak
punya rasa humor lagi, keterasingan, mementingkan diri sendiri, kehilangan
selera dan sebagainya.
Adaptasi Hirarki Kabutuhan Dasar
Manusia
Hirarki
kebutuhan tersebut kemudian diadaptasi sebanyak2 kali, yakni pada tahun 1970-an
dan pada tahun 1990-an, sehingga Hirarki kebutuhan yang semula ada 5 berubah
menjadi 8. Berikut adalah hasil adaptasi Hirarki kebutuhan dasar manusia
Pada tahun 1970-an Model Hirarki Kebutuhan Maslow
diadaptasi dengan memasukkan kebutuhan kognitif dan Estetika
1. Kebutuhan Fisiologis atau Dasar : udara, makanan, minuman, tempat berteduh,
kehangatan, seks, tidur, dll
2. Kebutuhan akan rasa aman : Perlindungan
dari unsur-unsur, keamanan, ketertiban, hukum, batas, stabilitas, dll
3. Kebutuhan untuk dicintai dan
disayangi : Kerja kelompok, keluarga, kasih sayang,
hubungan, dll
4. Kebutuhan untuk
dihargai : Harga
diri, prestasi, penguasaan, kemerdekaan, status, dominasi, prestise, tanggung
jawab manajerial, dll
5. Kebutuhan akan Ilmu Pengetahuan : pengetahuan, makna, dll
6. Kebutuhan Estetik : Apresiasi dan mencari keindahan,
bentuk keseimbangan,, dll
7. Kebutuhan untuk aktualisasi - menyadari potensi pribadi,
pemenuhan diri, mencari pertumbuhan pribadi dan pengalaman puncak.
Pada tahun 1990-an Hierarki Kebutuhan Maslow
diadaptasi kembali dengan memasukkan kebutuhan Transendensi
1.
Kebutuhan
Fisiologis atau Dasar : udara, makanan, minuman, tempat berteduh,
kehangatan, seks, tidur, dll
2.
Kebutuhan akan rasa aman : Perlindungan
dari unsur-unsur, keamanan, ketertiban, hukum, batas, stabilitas, dll
3.
Kebutuhan
untuk dicintai dan disayangi : Kerja kelompok, keluarga, kasih sayang,
hubungan, dll
4.
Kebutuhan
untuk dihargai : Harga diri, prestasi, penguasaan, kemerdekaan, status,
dominasi, prestise, tanggung jawab manajerial, dll
5.
Kebutuhan
akan Ilmu Pengetahuan :
pengetahuan, makna, dll
6.
Kebutuhan
Estetik : Apresiasi
dan mencari keindahan, bentuk keseimbangan,, dll
7.
Kebutuhan
untuk aktualisasi -
menyadari potensi pribadi, pemenuhan diri, mencari pertumbuhan pribadi dan
pengalaman puncak.
8.
Kebutuhan
Transendensi -
membantu orang lain untuk mencapai aktualisasi diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
TERIMAKASIH