Saya meminta para guru menyimpan nama murid terpandai itu di memorinya. Sejenak kemudian para mereka mendapatkan pertanyaan kedua, “Mengapa murid itu Saudara nyatakan pandai?”. Jawaban pertanyaan yang kedua ternyata sangat beragam. Guru-guru menyatakan bahwa murid yang paling pandai itu “selalu bertanya dengan kata mengapa dan bagaimana”, “menunjukkan prestasi dalam mengerjakan soal ulangan”, “mampu mengerjakan tugas dengan cepat dan hasilnya baik” menunjukkan “selalu ingin tahu” “ disiplin dalam mengerjakan tugas, bertanggung jawab, dan tepat waktu”.
Forum diskusi selanjutnya saya arahkan untuk mengelaborasi semua informasi yang terhimpun dan mengindentifikasi sejumlah penanda murid pandai untuk menjawab pertanyaan berikutnya. “Apa tanda-tanda murid pandai itu?”. Diskusi berkembang semakin interkatif, berbagai informasi menarik perhatian seluruh yang hadir, semua yang hadir meminta porsi berbicara. Terjadi saling meningkatkan pemahaman, pemikiran, dan usaha untuk lebih mendalami definisi “murid pandai”.
Para guru menyatakan bahwa murid pandai itu memiliki kecerdasan spiritual, intelektual, emosional yang lebih tinggi daripada murid lain pada umumnya. Dalam diskusi juga terungkap bahwa sekali pun ketiga jenis kecerdasan itu siswa miliki, namun guru-guru menyatakan bahwa setiap siswa memiliki karakter yang khas. Ada yang memiliki kecerdasan spiritual yang sangat tinggi, namun tidak demikian pada yang lainnya.Atau, ada siswa yang kadar intelektualnya tinggi namun tidak pada kecerdasan spiritualnya.
Diskusi itu menarik kesimpulan bahwa pembelajaran mampu memanfaatkan potensi kecerdasan siswa secara optimal. Agar bisa memanfaatkan itu, para guru perlu memiliki pemahan yang jelas tentang berbagai karakter kecerdasan spiritual, intelektual, emosional, dan sosial yang pendidikan harapkan. Intinya jelas, setiap guru perlu ciri-cirinya.
Satu hal yang penting ditegaskan dalam diskusi itu, ternyata dalam praktik pembelajaran di kelas meskipun guru-guru memahami berbagai teori kecerdasan sesungguhnya proses pembelajaran yang selama ini dilaksanakan di sekolah belum merefleksikan pentingkan mengembangkan berbagai unsur kecerdasan. Guru-guru menyatakan bahwa pembelajaran masih fokus pada peningkatan pengetahuan, siswa belum banyak terlibat dalam praktik-praktik dalam bentuk aktivitas yang lebih bermakna dalam mengoptimalkan berbagai kecerdasan.
Di mana kita sekarang?
Seorang Ibu guru sepulang dari kegiatan diskusi melihat-lihat Rencana Pelaksanaan Pembelajarannya. Sebutlah dia Bu Susi, seorang guru fisika dari sebuah SMA paling unggul di kotanya memiliki tekad untuk mengembangkan karakter intelektual siswanya dengan lebih baik. Ia melihat-lihat RPP yang dibuat bersama dalam kegiatan MGMP. Bu Susi belum dapat menentukan apakah RPP yang dimilikinya memenuhi daya dukung cukup untuk mengembangkan karakter intelektual siswanya. Ia berharap dengan mengubah strategi pembelajarannya mada akan menghasilkan siswa yang memiliki karakter intelektual yang lebih baik sehingga banyak memiliki siswa pandai.
Untuk memahami kondisi nyata ia melihat beberapa karakter intelektual yang diharapkannya. Menurut Faciones dan Sanchez sebagaimana dikutip Ron (2002) para pemikir kritis memiliki karakteri (1) militan, (2) berpandangan terbuka, (3) berpikir sistematik (4) analisis (5) berpikir kritis (6) pencari kebenaran dan (7) percaya diri.
Ennis menyatakan seperti yang dikutip Ron (2002) pemikir yang ideal memiliki karakter sebagai berikut: (1) memperjelas definisi (2) menentukan dan memelihara fokus (3) mempertimbangkan situasi (4) mencari dan memberikan alasan (5) mencari dan menggunakan informasi (6) mencari alternatif (7) menjaga agar berpikir tepat (8) menyadari keyakinan sendiri (9) berpikir terbuka atau menerima masukan dari orang lain (10) menilai bukti yang cukup (11) menentukan posisi (12) menggunakan kemampuan berpikir kritis.
Yang tidak kalah penting adalah karakter kegairahan seorang intelektual dalam mencari kebenaran ditandai dengan (1) gairah mendapatkan kejelasan, kebenaran, dan akurasi (2) semangat untuk menggali hal yang berlum diketahui (3) simpati terhadap pandangan yang bertentangan (4) semangat mencari informasi dan bukti-bukti (5) enggan berkontradiksi, ceroboh, dan tidak konsisten (6) memiliki keranian (7) berpihak pada kebenaran (8) rendah hati (9) memiliki integritas pribadi (10) tekun (11) adil (12) selalu memiliki alasan.
Hasil penelaahan yang seksama dengan menyandingkan RPP dengan sejumlah karakter intelektual, Ibu Susi menyatakan bahwa pembelajaran yang dirancangnya baru memuat beberapa hal penting, di antaranya siswa (1) memperjelas definisi (2) mencari informasi dari buku paket yang tersedia dalam kelas (3) informasi yang tersedia dari internet (4) mencari dan memberikan alasan (5) berpikir terbuka atau menerima masukan dari orang lain.
Masih banyak yang selama ini belum ia kembangkan. Oleh karena itu, ketika Bu Susi masuk kelas ia bekarja sama dengan siswa. Tolong tambah sumber informasi kita, ayo kita cari sumber informasi, kita buat jurnal, bekerja tiap hari dalam kelas, selalu siap mengembangkan kebiasaan berpikir kritis, kebiasaan bekerja rapih, kebiasaan tekun, kebiasaan menyelesaikan pekerjaan, menjaga mutu pekerjaan tetap baik, dan kebiasaan tepat waktu.
Pesan utamanya sekarang adalah: ; laksanakan pekerjaan, bekerja sama dalam kelas, dan terus maju.Jadilah kalian anak-anak pandai.
Untuk apa saya mengajar?
Pandangan Bu Susi tentang mengajar diperbaharuinya. Mengajar pada prinsipnya untuk memfasilitasi siswa mengemabangkan potensi dirinya agar menjadi anak pandai. Sebelumnya Bu Susi mengajar tidak untuk membuat siswa lebih cerdas, namun untuk lebih banyak tahu. Mengajar berarti meningkatkan penggunakan buku teks, menambah sumber, dan memastikan bahwa kompetensi siswa memenuhi standar. “Apakah mengajar untuk itu?” Begitulah ia berpikir.
Kini pikirannya dikembangkan lebih jauh, “Apa artinya mengajar untuk karakter intelektual?” “ Bagaimana saya bisa memulai proses itu?”
Menjawab tantangan pikirannya yang kritis lalu Bu Susi pun membaca pemikiran tentang keterampilan belajar. Dari sini Ibu Guru memulai merumuskan indikator kecerdasan yang ingin dibangunnya. Lalu diubahnya ke dalam indikator belajar. Ketika indikator belajar tidak lagi dapat menampungnya, maka Ibu Guru pun mengalihkan perhatiannya pada strategi mengajar dan manajemen kelas.
Wah, …wah, mengajar menjadi pekerjaan yang semakin kompleks, Guru memfasilitasi siswa mengembangkan kompetensinya dalam menguasai materi pelajaran, sambil membangun karakternya, sambil mengembangkan kecakapan berpikir, sambil mengembangkan daya kolaborasi, sambil mengembangkan keimanannya, sambil mengembangkan daya adaptasi sosialnya….sambil…sambil….banyak lagi.
Perlu peta perencanaan yang matang agar guru tidak pingsan dalam kelas karena menggunakan begitu banyak dimensi berpikir sehingga akalnya kehabisan tenaga. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
TERIMAKASIH