Kebudayaan politik di Indonesia pada dasarnya bersumber dari tingkah laku, pola dan interaksi yang majemuk, Menurut Herbert Feith dan Lance Castles dalam buku ”Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965”. ada lima aliran pemikiran politik yang mewarnai perpolitikan di Indoensia, yakni: nasionalisme radikal, tradisionalisme Jawa, Islam, sosialisme demokrat, dan komunisme. Kelima aliran pemikiran inilah yang membentuk budaya politik dan sistem politik di Indonesia dari masa lampau sampai masa sekarang, dengan berbagai perubahan yang terjadi di Indonesia.
Membicarakan Budaya politik di Indonesia tak lepas dari pemikiran politik yang secara historis mewarnai perpolitikan di Indonesia. Aliran politik Indonesia menurut Herbert Feith dan Lance Castles dalam buku ”Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965”. yang mewarnai perpolitikan di Indoensia, yakni:
1. Komunisme yang mengambil konsep-konsep langsung maupun tidak langsung dari Barat, walaupun mereka seringkali menggunakan ideom politik dan mendapat dukungan kuat dari kalangan abangan tradisional. Komunisme mengambil bentuk utama sebagai kekuatan politik dalm Partai Komunis Indonesia.
2. Sosialisme Demokrat yang juga mengambil inspirasi dari pemikiran barat. Aliran ini muncul dalam Partai Sosialis Indonesia.
3. Islam, yang terbagi menjadi dua varian: kelompok Islam Reformis (dalam bahasa Feith)- atau Modernis dalam istilah yang digunakan secara umum- yang berpusat pada Partai Masjumi, serta kelompok Islam konservatif –atau sering disebut tradisionalis- yang berpusat pada Nadhatul Ulama.
4. Nasionalisme Radikal, aliran yang muncul sebagai respon terhadap kolonialisme dan berpusat pada Partai nasionalis Indonesia (PNI).
5. Tradisionalisme Jawa, penganut tradisi-tradisi Jawa. Pemunculan aliran ini agak kontroversial karena aliran ini tidak muncul sebagai kekuatan politik formal yang kongkret, melainkan sangat mempengaruhi cara pandang aktor-aktor politik dalam Partai Indonesia Raya (PIR), kelompok-kelompok Teosufis (kebatinan) dan sangat berpengaruh dalam birokrasi pemerintahan (pamong Praja).
Aliran pemikiran ini dalam pemilu 1955 direfleksikan melalui partai-partai peserta pemilu, diantaranya komunisme diwakili oleh Partai Komunis Indonesia (PKI), nasionalisme radikal (PNI), Islam (Masyumi, NU), tradisionalisme Jawa (PNI, NU, PKI), dan sosialisme demokrat (PSI, Masyumi, PNI).
Aliran pemikiran tersebut pada pemilu 2004 warna ideologi kepartaian di Indonesia tinggal dua corak. Yakni, nasionalis yang direpresentasi PDI-P, Partai Golkar,dan Partai Demokrat, dan partai lain. Kedua, Islam yang diwakili PPP, PBB, PKS, dan partai lain.
Yang menjadi persoalan kini ialah bagaimana dapat menjadikan individu-individu yang berada di masyarakat Indonesia untuk mempunyai ciri “dinamika dalam kestabilan” yakni menjadi manusia yang ideal yang diinginkan oleh Pancasila. Maka disini diperlukanlah suatu proses yang dinamakan sosialisasi, sosialisasi Pancasila. Sosalisasi ini jikalau berjalan progressif dan berhasil maka kita akan meimplikasikan nilai-nilai Pancasila kedalam berbagai bidang kehidupan. Dari penanaman-penanaman nilai ini akan melahirkan kebudayaan-kebudayaan yang berideologikan Pancasila. Proses kelahiran ini akan memakan waktu yang cukup lama, jadi kita tidak bisa mengharapkan hasil yang instant terjadinya pembudayaan.
Dua faktor yang memungkinkan keberhasilan proses pembudayaan nilai-nilai dalam diri seseorang yaitu sampai nilai-nilai itu berhasil tertanam di dalam dirinya dengan baik. Kedua faktor itu adalah:
1. Emosional psikologis, faktor yang berasal dari hatinya
2. Rasio, faktor yang berasal dari otaknya
Jikalau kedua faktor tersebut dalam diri seseorang kompatibel dengan nilai-nilai Pancasila maka pada saat itu terjadilah pembudayaan Pancasila itu dengan sendirinya.Tentu saja tidak hanya kedua faktor tersebut. Segi lain pula yang patut diperhaikan dalam proses pembudayaan adalah masalah waktu. Pembudayaan tidak berlangsung secara instan dalam diri seseorang namun melalui suatu proses yang tentunya membutuhkan tahapan-tahapan yang adalah pengenalan-pemahaman-penilaian-penghayatan-pengamalan. Faktor kronologis ini berlangsung berbeda untuk setiap kelompok usia.
Melepaskan kebiasaan yang telah menjadi kebudayaan yang lama merupakan suatu hal yang berat, namun hal tersebutlah yang diperlukan oleh bangsa Indonesia. Sekarang ini bangsa kita memerlukan suatu transformasi budaya sehingga membentuk budaya yang memberikan ciri Ideal kepada setiap Individu yakni berciri seperti manusia yang lebih Pancasilais. Transformasi iu memerlukan tahapan-tahapan pemahaman dan penghayatan yang mendalam yang terkandung di dalam nilai-nilai yang menuntut perubahan atau pembaharuan. Keberhasilan atau kegagalan pembudayaan dan beserta segala prosesnya akan menentukan jalannya perkembangan politik yang ditempuh oleh bangsa Indonesia di masa depan.
anda gali dulu Pancasila dan tujuan Proklamasi. sepertinya anda belum menemukannya. baru anda bicara bagaimana kedepannya. tentang sejarah perjuangan Indonesia juga pelajari selengkap-lengkapnya.
BalasHapus