SELAMAT DATANG DI WEBBLOG SERBA-SERBI INDONESIA TERIMAKASIH SUDAH BERKUNJUNG
PayPal.Me/Techerbandung.

Sabtu, 16 Juli 2011

MENEGUHKAN KEMBALI EKSISTENSI BUDAYA LOKAL DI JAWA BARAT

Sebagaimana kita mafhum, Jawa Barat mempunyai tradisi, kebu­dayaan, dan kearifan khas yang, salah satunya, terangkum dalam falsafah hirup nyunda. Dan itu mendapat porsi tersendiri, karena di dalamnya terkandung logika-logika kebenaran yang khas. Dilihat dari etnik dan kebudayaan, penduduk Jawa Barat merepresentasikan seluruh etnik dan kebudayaan yang ada di Indo­nesia seperti Jawa, Padang, Medan, Batak dan sebagainya. Dalam lingkup karakteristik sosial-kultural, Daerah Jawa Barat dapat diidentifikasi sebagai berikut:
a) Pesisir - pedalaman.
b) Kota - desa.
c) Industri - agraris.
d) Modern - tradisional.
e) Santri - nonsantri.
Dari aspek pengelompokkan organisasi sosial (ormas) keagamaan yang paling menonjol di Jawa Barat adalah Nahdlatul Ulama (NU), Muhamadiyah, Persatuan Islam (Persis) dan Persatuan Umat Islam (PUI). Di antara kegiatan ormas-ormas keagamaan ini adalah menyelenggarakan pendidikan, termasuk dalam bentuk madrasah swasta, baik tingkat Madrasah Ibtidaiyah (MI, Madrasah Tsanawiyah (MTs), maupun Madrasah Aliyah (MA).
Daerah-daerah yang dapat dijadikan contoh dengan kecenderungan karakteristik sosial-kultural tersebut, sekaligus mewakili jawa Barat dari daerah utara, selatan, timur, barat dan tengah, sebagai berikut:
1)      Bandung (kabupaten dan kota) lebih menonjolkan karakteristik kota dan modern dengan ormas keagamaan yang bervariasi.
2)      Indramayu memiliki kecenderungan karakteristik pantai, desa dan agraris.
3)      Tasikmalaya, memiliki kecenderungan desa, santri, tradisional
4)      Sukabumi memiliki kecenderungan karakteristik daerah pedalaman, agraris, desa dan nonsantri.
5)      Bekasi dengan kecenderungan karakteristik kota, industri, mo­dern dengan ormas keagamaan yang bervariasi.
Hubungan antara kebudayaan induk Jawa Barat yakni Sunda dengan Islam sebagai agama yang dianut mayoritas penduduk Jawa Barat menujukkan hubungan yang bersifat simbiosis dan mutualistik. Hubungan ini didasarkan pada beberapa kajian. Pertama, antara budaya Sunda dengan Islam tidak dapat dipisahkan. Ajaran Islam dikatakannya sebagai nilai-nilai yang menjadi ruh kebudayaan Sunda. Kedua, Ahmad Mansur Suryanegara, dalam berbagai kesempatan menyatakan bahwa membicarakan Sunda tidak dapat dilepaskan dari urusan pemerintah daerah dan masyarakat daerah itu.
Konteks keterakaran budaya masyarakat dalam dunia dakwah mengingat beberapa konsepsi dasar, sebagai berikut:

1)         Manusia yang berpendidikan adalah manusia yang berbudaya.
2)         Pengembangan manusia seutuhnya mengandung konsekuensi keterakaran manusia itu dengan lingkungan budayanya.
3)         Praktik pendidikan nasional memancarkan semangat yang terus-menerus untuk membentuk manusia In­donesia yang berpendidikan dan berbudaya.
Seiring perkembangan zaman yang terus melaju, hirup nyunda sebagai entitas papagon hirup (pedoman hidup) masyarakat Tatar Sunda kini kian dipertanyakan eksistensi dan nilai gregetnya.
Ada keprihatinan terhadap kearifan lokal yang semakin terreduksi dan nampaknya kini hanya menjadi simbol di masyarakat Tatar Sunda. Tak jarang yang mengemuka da­lam realitas kehidupan bermasyarakat adalah silih jongklokeun dan silih rengkas. Ini artinya, nilai-nilai luhur yang dikandung dalam hirup nyunda pada hakikat dan secara praktik jauh dari harapan yang semestinya.
Bagi sebagian orang, gagasan membumikan kembali hirup nyunda dewasa ini mungkin dipandang dan diposisikan dalam deretan istilah usang, cetek, aneh, klise, atau bahkan identik dengan bumbu dan aroma sekat etnisitas. Tapi tentu tidak bagi penulis, hirup nyunda, merupakan kekuatan luar biasa yang kalau disentuh dan diaplikasikan dapat menjadi pareto. Yakni, energi sentral yang memiliki dinamisasi untuk menggerakan banyak kemandekan, kejumudan, dan membangkitkan masyarakat Tatar Sunda dari keterasingan di masa kini.
Mempertegas hal itu, ada baiknya kita mengadopsi pandangan Gus Dur –panggilan akrab Abdurrahman Wahid –melalui kanalisasi ide Islam Pribumi atau Pribumisasi Islam yang di­posisikan sebagai poros utama dalam sikap keberagamaan dan memaknai kehidupan (Fawaizul Umam, 2005:305). Dan tidak berlebihan kiranya, jika gagasan hirup nyunda sebagai khazanah lokal kembali diangkat tatkala perbincangan format ideal tatanan sosial di Tatar Sunda.
Membumikan hirup nyunda pada gilirannya bermuara pada tujuan dan cita-cita mulia Jawa Barat yang terangkum dalam kebijakannya untuk menciptakan tatanan sosial yang teratur, dinamis, harmonis, dan religius. Hirup nyunda juga diproyek­sikan sebagai akselerasi peningkatan kualitas kehidupan so­sial yang berlandaskan agama dan kebudayaan yang ada, di Jawa Barat.

Genealogi Hirup Nyunda
Membahas genealogi hirup nyunda sejatinya tidak terlepas dari latar belakang kebudayaan dan keagamaan masyabakat Tatar Sunda yang selama ini berkembang. Keterkaitan kebudayaan sebagai proses kreatif dari eksistensi diri manusia yang te­rus-menerus lalu berkelindan bahkan berpadu dengan pengamalan dan pengalaman hidup keberagamaan menjelaskan hal tersebut (Musa Asy'arie, 2002: 20).
Menurut Dadan Wildan, sebelum Islam datang, sejarah mencatat bahwa masyarakat Tatar Sunda telah lebih dulu akrab dengan agama Hindu, Budha, dan Sunda Wiwitan dalam kurun waktu yang cukup lama. Sampai pada akhirnya, sekitar rentang abad ke 13-14, ajaran Islam mulai tumbuh dan berkembang di masyarakat Sunda, Terlebih saat diperkenalkan dan disebarkan oleh Syarif Hidayatullah atau yang dikenal dengan gelar Su­nan Gunung Djati. Pada saat itulah, 'Islamisasi' di Tatar Sunda menemui gregetnya. Hal ini dominan disebabkan syiar Islam membumi melalui jalur kultural (Bisri, peny., 2005: 53). Pemilihan jalur kultural tersebut, mengingatkan kita dengan pendapat Muhammad Abduh (1946:37), bahwa Islam mudah diterima dalam hati dan mudah dicerna oleh otak manusia karena disampaikan dengan wajar dan penuh kesabaran serta memperhatikan sosio-kultural. Ini artinya, proses keberislaman melalui jalur kultural lebih diterima oleh berbagai lapisan masyarakat. Dan masyarakat pun akhirnya merasa lebih akrab dengan model ‘islamisasi’ yang cara menggunakan bijak dan damai ini.
Sejalan dengan itu, Amich Alhumami mengungkapkan bahwa Islam sejatinya mengajarkan kepada para pemeluknya untuk sela­lu bersikap inklusif dan berlaku adaptif terhadap budaya dan tradisi lokal (Abdul Mu’nim, ed., 2000: 230). Dalam tarikan na­fas yang sama, Said Agil Siraj (2006: 400) mengatakan bahwa hal inilah yang seharusnya menjadi landasan teologi kita bersama. Di sisi ini, penulis ingin menegaskan bahwa Islam bu­kan saja sejalan dengan kearifan lokal, lebih dari itu juga memiliki hubungan organik di mana pun bersemi, tumbuh, dan berkembang. Proses keberislaman yang terjadi di Tatar Sunda telah melahirkan Islam dengan wajah yang ramah terhadap nilai budaya lokal serta menghargai traidisi dan kepercayaan warisan budaya masyarakat setempat.
Ahmad Ruhiyat (2003) menambahkan bahwa keberislaman se­bagai proses yang tidak dapat dipaksakan secara langsung terwujud dan tidak pernah murni sejatinya perlu dipandang se­begai hasil pergulatan ruang dan waktu. Pengakuan terhadap tradisi lokal dan kemungkinan sumbangan yang dapat diberikan tradisi lokal terhadap Islam merupakan kearifan yang samesti­nya ditekankan dalam Islam. Jika tidak, yang akan terjadi adalah pembasmian antara yang satu dengan yang lain; dan ini tentu kontraproduktif bagi kelangsungan agama sendiri.
Transformasi Islam di Tatar Sunda tidak bisa dipisahkan dengan daya tawar lokal. Ia (Islam) tidak diterima apa adanya, melainkan ada semacam tawar-menawar dengan khazanah lokal. mengingat masyarakat bukanlah ruang kosong hampa nilai, ada daya tarik-menarik antara Islam dengan tradisi dan kebudayaan yang telah ajeg sebelumnya.
Pergulatan kearifan lokal Tatar Sunda dan ajaran Islam pada akhirnya saling menopang, memperkuat dan terkadang menyatu. Dan hirup nyunda tidak lain merupakan penjelmaan yang khas dari pertautan tersebut. Yakni, sebuah norma hidup yang didasarkan pada nilai-nilai religi Islam yang masih dibungkus rapi oleh balutan nuktah-nuktah kearifan lokal.
Hirup nyunda menjadi prototipe persenyawaan ajaran Islam dan kultur lokal Tatar Sunda yang dirajut begitu apik dan harmonis. Harmonisasi inilah yang ditengarai Edi S. Ekadjati (2004:24), menjadi gambaran sederhana dari budaya urang Sunda yang religius dan santun. Seiring perkembangan zaman, wacana hirup nyunda menjadi bagian yang tidak pernah terpisahkan saat memperbincangkan dinamika masyarakat Tatar Sunda.
Pada kesempatan lain, Azyumardi Azra pernah mengungkapkan bahwa Islam bagi masyarakat Tatar Sunda telah diidentifikasikan sebagai supra identity. Sering kita, dengar juga adagium –meski masih dapat kita perdebatkan –bahwa Sunda itu Islam dan Islam itu Sunda (Bisri, peny, 2005:131), Dan belakangan ini muncul asumsi bahwa Islam bisa 'mekar' me­lalui budaya Sunda, dan sebaliknya budaya Sunda bisa 'nanjung' dengan semangat keislaman.
Alhasil, benang merah yang dapat kita ambil dari prototype hirup nyunda adalah keajegan pameo urang Sunda yang ter­lembagakan lewat istilah silih asih, silih asah, dan silih asuh (saling mengasihi, saling mempertajam diri, dan saling meme­lihara serta melindungi). Pameo ini tentunya menjadi salah satu bagian miracle sight of west java (Djoko Sediono, ed., 2005:22) yang patut dipertahankan dan d jaga kelestariannya. Penulis menengarai pameo tersebut sebagai tipologi hirup nyunda yang benar-benar genuine.

Penutup
Merenungkan kearifan lokal bukan berarti kembali ke masa lalu atau menjadi masyarakat tradisional lagi, tapi mencari mutiara-mutiara para leluhur dan menjadikannya sebagai pegangan setiap langkah ke depan. Dengan demikian, budaya silih asih, silih asah, dan silih asuh menjadi cerminan hirup nyunda yang akan tetap relevan dalam menghadapi tantangan zaman ke depan.
Kehadiran Islam dalam masyarakat Tatar Sunda bukanlah berarti menjadikannya sebagai kebenaran tunggal yang menjajah dan menepikan seluruh kebenaran lokal yang selama ini "mena­fasi" kehidupan masyarakat. Artinya kehadiran Islam dalam Ta­tar Sunda bukan ditujukan untuk saling menegasi dengan tradi­si lokal, tapi sikap saling mengafirmasi kebenaran sehingga yang muncul adalah kearifan-kearifan terhadap kebenaran itu sendiri. Diharapkan hal itu akan terhayati di tengah-tengah masyarakat Tatar Sunda. Dan rasanya inilah yang menegaskan bahwa Islam senantiasa shalih li kulli zaman wa makan.
Pameo silih asih, silih asah, dan silih asuh sebagai penjelmaan dari tipologi hirup nyunda menjadi jawaban ampuh bagi masyarakat Tatar Sunda yang kini mulai kehilangan jati diri­nya. Membumikan kembali hirup nyunda menjadi pilihan bijak untuk merangkul setiap sendi-sendi sosial yang tercerai berai oleh alasan disparitas sosial, budaya, ekonomi dan bahkan po­litik.
Wa ba'du, mempertegas praksis hirup nyunda bukanlah pe­kerjaaan remeh-temeh. Diperlukan upaya sungguh-sungguh dengan melipatgandakan kerja perubahan dalam sinar terang ajaran Is­lam dan nuktah-nuktah kearifan lokal. Hirup nyunda secara praksis berarti pendaratan ruh agama dan kearifan lokal pada pangkalan-pangkalan masyarakat atas (elite), hingga level bawah (grass roots),' Pendaratan ini terwujud dalam bentuk yang lebih substantif berupa terpeliha­ranya tatanan budaya dan identitas hakiki masyarakat Tatar Sunda.
Wallahu 'alam.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran Al-Kar im
Abduh, Muhammad. 1964, Al-Islam Din wa Al-Madaniyyah. Al-Majlis Al-‘Ala li Syu’un al-Islamiyah. Cairo.
Abidin, Zainal dkk, 2006. Ngaji dan Ngejo, Bandung: Setda Jawa Barat.
Asy’arie, Musa. 2002. Menggagas Revolusi Kebudayaan Tanpa Kekerasan. Yogyakarta; Lesfi.
Bisri, Cik Hasan peny. 2005. Pergumulan Islam. Bandung: Kaki Langit.
Ekadjati, Edi S. 2004. Kebangkitan Kembali, Orang Sunda. Ban­dung: Kiblat.
Engineer, Asghar: Ali. 2003. Islam dan Teologi Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hude, Darwis dkk. 2004. Cakrawala Ilmu dalam Al-Quran. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Mu’nim, Abdul (ed). 2000, Islam Di Tengah Arus Transisi. Jakarta: Kompas.
Umam, Fawaizul. 2005. Dari Terma ke Stigma. Dalam Jurnal Istiqro vol 4, No 1, 2005.
Siraj, Said Agil. 2006. Tasawuf sebagai Kritik Sosial. Bandung : Mizan.
Zuhailli, Wahbah. 1993. Al-Quran Al-Karim Bunaituhu al-Tasyriyyat Khasaisuhu al-Hadlriyyat. Beirut: Dar el-Fikr.








1 komentar:

  1. maaf, kang tulisan di atas diambil dari sumber mana yah? atau tulisan akan sendiri? hasutianto@gmail.com

    BalasHapus

TERIMAKASIH

DAFTAR SEMUA POSTINGAN

free counters