Belakangan ini keberadaan rasa nasionalisme bangsa Indonesia dirasakan agak mundur, terutama sejak digulirkannya otonomi daerah yang mengakibatkan orientasi pembangunan masih berpusat pada pusat-pusat daerah, dan pembangunan dirasakan oleh orang timur masih berpusat di jawa. untuk mengoftimalkan peran pembelajaran geografi dan kependudukan dalam memperkokoh rasa nasionalisme dan kesadaran bangsa, dapat dilihat dari parameter indeks pembangunan, yaitu dilihat dari segi ekonomi, pendidikan dan kesehatan.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Pembelajaran hidup rukun dan beradaptasi terhadap dinamika keberagaman kehidupan merupakan salah satu modal penting dalam meningkatkan nilai nasionalisme. Objek material geografi merupakan bahandasar untuk menumbuhkan kesadaran terhadap kekayaan alam Indonesia. Pembelajaran geografi dituntut untuk mampu merangsang, mendorong, meningkatkan serta mengembangkan sikap dan rasa cinta, peka, peduli dan bertanggungjawab terhadap keberagaman bangsa Indonesia. Arinya geografi bertanggungjawab dalam menumbuh kembangkan rasa memiliki peserta didik terhadap kekayaan dan keadaan alam Indonesia.
Geografi adalah mata pelajaran yang ada di kurikulum pendidikan Indonesia, baik pada tingkat pendidikan dasar (SMP/MTs), maupun pendidikan menengah (SMA/MA). Ditinjau dari hakikat geografi, dan atau objek material geografi, pelajaran ini memiliki posisi strategis dalam membangun kesadaran masyarakat majemuk.. Melalui wacana ini, dijelaskan mengenai asumsi empiris, sekaligus peluang-peluang strategis dalam meningkatkan peran geografi dalam membangun masyarakat demokrasi yang matang dalam suasana kehidupan masyarakat yang beragam.
Secara pribadi, khususnya sebagai guru geografi, kerap merasa kaget dan aneh, mengapa pendidikan di Indonesia kurang mendapat respon dengan baik. Alih-alih menjadi model pembelajaran unggulan, malah untuk mewacanakan pun masih merupakan sesuatu yang jarang terdengar. Pada sisi lain, bila dicermati dengan baik, banyak aspek yang terkait dengan kehidupan masyarakat Indonesia yang sangat mendukung usaha pengembangan pendidikan multicultural. Bukan hanya realitas kebijakan politik, tetapi juga realitas social dan objek material pembelajaran itu sendiri, khususnya bidang studi geografi yang diajarkan di lembaga pendidikan formal . Sebagai bagian dari tanggungjawab akademik dan juga penguatan wacana dihadapan kita semua, kiranya perlu dilakukan pembahasan yang mendetil mengenai potensi pendidikan multicultural dan kebutuhannya dalam usaha membangun masyarakat Indonesia masa depan. Indonesia tidak akan mampu menjadi sebuah Negara besar, manakala gagal mengelola potensi sosial bangsanya sendiri. Indonesia tidak mungkin menjadi bangsa yang unggul, kalau melupakan modal sosial yang besar yang ada di masyarakat.
Seiring hal ini, kebutuhan untuk mengembangkan pendidikan berbasis potensi social menjadi kebutuhan mendesak. Pengembangan KTSP (kurikulum tingkat satuan pendidikan) yang ada selama ini, belum membangkitkan kesadaran mengenai pentingnya pengembangan pendidikan karakteristik bangsa yang bisa memperkokoh rasa nasionalisme. Padahal, salah prinsip pengembangan KTSP yaitu tingkat relevansi pendidikan dengan kebutuhan daerah atau kebutuhan lokal, minimalnya kebutuhan satuan pendidikan. Oleh karena itu, pengembangan model pendidikan berorientasi karakteristik pada dasarnya merupakan salah satu bentuk akomodatifnya kurikulum pendidikan dalam paradigma KTSP .
Secara pribadi, khususnya sebagai guru geografi, kerap merasa kaget dan aneh, mengapa pendidikan di Indonesia kurang mendapat respon dengan baik. Alih-alih menjadi model pembelajaran unggulan, malah untuk mewacanakan pun masih merupakan sesuatu yang jarang terdengar. Pada sisi lain, bila dicermati dengan baik, banyak aspek yang terkait dengan kehidupan masyarakat Indonesia yang sangat mendukung usaha pengembangan pendidikan multicultural. Bukan hanya realitas kebijakan politik, tetapi juga realitas social dan objek material pembelajaran itu sendiri, khususnya bidang studi geografi yang diajarkan di lembaga pendidikan formal . Sebagai bagian dari tanggungjawab akademik dan juga penguatan wacana dihadapan kita semua, kiranya perlu dilakukan pembahasan yang mendetil mengenai potensi pendidikan multicultural dan kebutuhannya dalam usaha membangun masyarakat Indonesia masa depan. Indonesia tidak akan mampu menjadi sebuah Negara besar, manakala gagal mengelola potensi sosial bangsanya sendiri. Indonesia tidak mungkin menjadi bangsa yang unggul, kalau melupakan modal sosial yang besar yang ada di masyarakat.
Seiring hal ini, kebutuhan untuk mengembangkan pendidikan berbasis potensi social menjadi kebutuhan mendesak. Pengembangan KTSP (kurikulum tingkat satuan pendidikan) yang ada selama ini, belum membangkitkan kesadaran mengenai pentingnya pengembangan pendidikan karakteristik bangsa yang bisa memperkokoh rasa nasionalisme. Padahal, salah prinsip pengembangan KTSP yaitu tingkat relevansi pendidikan dengan kebutuhan daerah atau kebutuhan lokal, minimalnya kebutuhan satuan pendidikan. Oleh karena itu, pengembangan model pendidikan berorientasi karakteristik pada dasarnya merupakan salah satu bentuk akomodatifnya kurikulum pendidikan dalam paradigma KTSP .
Bersandar pada rumusan tersebut, dengan mudah dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan di Indonesia (baca : mata pelajaran di setiap satuan pendidikan) bukan bidang ilmu yang bisa dipisahkan atau terpisah dari kebutuhan dan kepentingan praktis bangsa dan Negara. Lebih luas lagi, pendidikan tidak bisa dipisahkan dari kepentingan praktis manusia dalam kehidupan sehari-hari. Ketegasan dan penegasan ini sangat penting. Khususnya terkait dengan adanya indikasi, terus menguatnya promosi sebagian ilmuwan yang menyatakan bahwa ilmu adalah bersifat netral dan bisa dipisahkan dari kepentingan. Pandangan positivisme, sebagaimana yang diproklamasikan Aguste Comte (1798-1857) adalah puncak dari pemurnian pengetahuan dari kepentingan . Pandangan ini merupakan awal kelahiran pengetahuan untuk pengetahuan (pure science) yang terpisah dan dipisahkan dari kepentingan praxis . Pada tahap selanjutnya, ideology netralitas sains menjadi sesuatu yang menjadi ideology perjuangan sebagian ilmuwan. Sehingga pada akhirnya, kerap ada kritik “pintar tapi budi pekerti tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat”.
Pendidikan merupakan bagian dari rekayasa sosial dan transformasi sosial, karena itu memerlukan sebuah teknik dan strategi yang relevan dengan karakter sosial itu sendiri. Brameld menyebutkan bahwa ” kekuatan yang paling kapabel untuk melakukan kontrol sosial dan tranformasi adalah pendidikan”. Maka melalui pendidikan ini negara indonesia dapat membangun karakter bangsa yang bertanggungjawab terhadap diri, masyarakat dan negara. senada dengan tersebut, Jalaluddin Rakhmat berpendapat bahwa ”Perubahan sosial yang bergerak melalui rekayasa sosial harus dimulai dengan perubahan cara berfikir, mustahil ada perubahan kearah yang benar kalau kesalahan berfikir masih menjebak benak manusia. Perubahan ini hanya dapat dilakukan melalui pendidikan, salah satunya dengan dibelajarkannya geografi dan kependudukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
TERIMAKASIH