SELAMAT DATANG DI WEBBLOG SERBA-SERBI INDONESIA TERIMAKASIH SUDAH BERKUNJUNG
PayPal.Me/Techerbandung.

Kamis, 23 Februari 2012

ANOTASI BIBLIOGRAFI ASESMEN DAN EVALUASI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN ILMU SOSIAL

ANOTASI BIBLIOGRAFI
ASESMEN DAN EVALUASI PEMBELAJARAN
PENDIDIKAN ILMU SOSIAL



Black, P., dan Wiliam, D. (1998). “Assessment and classroom learning.” Assessment in Education. 5 (1): 7-74.
Artikel panjang ini menyodorkan hasil tinjauan kepustakaan (literature review) terhadap 241 tulisan artikel di 76 jurnal tentang asesmen formatif dalam pembelajaran di kelas. Paul Black dan Dylan Wiliam mengawali tulisannya dengan menyatakan bahwa salah satu dari ciri-ciri keunggulan kajian asesmen sekarang ialah bergesernya fokus perhatian menuju minat lebih besar kepada interaksi antara asesmen dan pembelajaran di kelas serta jauh dari pemusatan kepada pemilikan bentuk-bentuk tes yang kaku, yang lemah kaitannya dengan pengalaman pembelajaran siswa. Dari artikel-artikel yang dikaji menunjukkan bahwa inovasi-inovasi yang dirancang untuk memperkuat umpan-balik secara teratur dari para siswa dan peranan mereka dalam penilaian-sendiri (self-assessment) dipertimbangkan menjadi analisis terhadap strategi-strategi yang dipergunakan oleh para guru dan strategi-strategi formatif yang tergabung dalam pendekatan sistemik seperti pembelajaran tuntas (mastery learning). Analisis teoritik dan lebih rinci  terhadap hakekat umpan-balik telah menjadi dasar diskusi dalam artikel panjang ini  kepada perkembangan model-model teoritis bagi asesmen formatif dan prospek bagi perbaikan prakteknya.

Buckles, S., Schug, M.C., dan  Watts. M. (2001). “A National Survey of State Assessment Practices in the Social Studies.” The Social Studies. 92 (4):141-146.
Artikel ini menyajikan hasil penelitian dari para penulisnya terhadap arti penting standar (kurikulum) nasional dan gerakan asesmen selama beberapa dekade sebelumnya, serta bagaimana asesmen berbasis standar itu diselenggarakan dalam social studies (juga lapangan kajian lainnya) di seluruh Amerika Serikat. Penelitian itu sendiri ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang negara-negara bagian mana sajakah yang menyelenggarakan asesmen social studies; bagian mata pelajaran apa sajakah yang termasuk dalam asesmen social studies di negara bagian; berapa banyak cakupan  dari perbedaan kawasan mata pelajaran telah mendapatkan asesmen; jenis-jenis item yang digunakan dalam asesmen; dan, dampak berbagai standar nasional terhadap asesmen social studies di negara bagian.

Czarra, F. (1999). “Breaking New Ground: The Comprehensive Social Studies Assessment Project (CSSAP).” Social Education. 63 (6): 360-364.
Fred Czarra menilai bahwa dalam dekade 1990an kajian social studies telah menjadi “anak tiri” dalam reformasi pendidikan di Amerika Serikat. Akibatnya, perlu mata pelajaran seperti matematika dan sains (IPA) yang perlu diambil alih dalam disiplin ilmu social studies dari civics (ilmu kewarganegaraan), ekonomi, geografi dan sejarah. Dalam asesmen pun menekankan bacaan dan matematika. Walaupun demikian, social studies tengah bergerak dan asesmennya ke dalam sorotan pendidikan. Penulis melaporkan upaya kolaboratif oleh 23 negara bagian untuk mengembangkan asesmen berdasarkan tema-tema dari sejarah, geografi, civics, dan ekonomi untuk siswa sekolah dasar dan sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas oleh sebuah konsorsium bernama CSSAP.

Hargreaves, A., Earl, L., dan Schmidt, M. (2002). “Perspectives on Alternative Assessment Reform.” American Educational Research Journal. 39 (1): 69–95

Di dalam artikel ini ketiga penulis mengkaji reformasi asesmen pembelajaran di kelas dari empat perspektif, yaitu perspektif teknologi, budaya, politik, dan posmodern.  Masing-masing perspektif menyoroti perbedaan isu dan masalah dalam fenomena asesmen pembelajaran di kelas. Perspektif teknologi memfokuskan kepada masalah organisasi, struktur, strategi, dan keterampilan dalam pengembangan teknik-teknik baru asesmen.  Perspektif budaya mengkaji bagaimana asesmen alternative ditafsirkan dan diintegrasikan ke dalam konteks sosial dan kultural dari sekolah-sekolah. Perspektif politik memandang masalah asesmen sebagaimana dibentuk dan dihasilkan dari dinamika kekuasaan dan kontrol dalam interaksi manusia. Dalam perspektif politik,  masalah-masalah asesmen disebabkan oleh penggunaan yang tidak tepat,  interferensi politik dan birokratik,  atau prioritas dan kebutuhan lembaga. Perspektif posmodern didasarkan kepada pandangan bahwa dunia sekarang rumit dan tidak menentu, manusia tidak lagi dapat memiliki pengetahuan secara lengkap, serta pengalaman-pengalaman “otentik”  dan asesmen secara fundamental dapat dipertanyakan. Berdasarkan keempat perspektif itu, para penulis dalam penelitiannya menggunakan wawancara semi-terstruktur terhadap para guru yang ditanyai tentang pemahaman probadi mereka tentang bentuk-bentuk asesmen alternatif; tentang bagaimana para guru itu  memperoleh pemahaman tersebut; bagaimana para guru itu mengintegrasikan perubahan-perubahan ke dalam praktek mereka; apa yang menjadikan alasan-alasan itu dipilih; apa keberhasilan-keberhasilan dan hambatan-hambatan yang mereka hadapi selama melakukan asesmen alternative itu;  dan, ada dukungan sistem terhadap asesmen alternatif yang dilakukan oleh para guru itu.

Helms, R.G. (1999). “Social Studies Assessment: The Role of the National Board for Professional Teaching Standards.” Social Education. 63 (6): 378-381.
Artikel ini memaparkan apa, siapa dan bagaimana peran National Board for Professional Teaching Standards (NBPTS) di Amerika Serikat dalam hal asesmen dan sertifikasi social studies bagi para guru pra-K12.  NBPTS memfasilitasi pelatihan bagi fakultas-fakultas universitas dan para guru. NBPTS  diakui oleh pemerintah federal Amerika Serikat sebagai organisasi profesional pemberi sertifikat pendidik. Dalam artikel ini, Helms memberikan informasi singkat bagaimana NBPTS menyelenggarakan asesmen dan sertifikasi kepada calon guru social studies baik di sekolah dasar  dan menengah. Hal menarik, NBPTS memberikan desempatan lepada guru untuk dapat menjadi asesor dengan honorarium US $100 per hari.

Howell, E.M. (2006). “An Assessment of Evaluation Designs: Case Studies of 12 Large Federal Evaluations.” American Journal of Evaluation,  27(2): 219-236.
Artikel ini memberikan sebuah tinjauan kritis terhadap kualitas 12 program besar di tingkat federal di Amerika Serikat. Tinjauan memfokuskan diri kepada desain evaluasi, memasukan aspek keahlian evaluasi di antara orang-orang yang melakukan kesalahan evaluasi, dan diseminasi evaluasi. Secara keseluruhan proses analisis dari evaluasi tersebut memberikan model-model yang baik untuk bagaimana proses implementasi dan pemberian umpan balik kepada penyandang dana program. Dari analisis nampak bahwa hasil evaluasi menunjukkan perlu perbaikan, seperti pengawasan program yang sering tidak termasuk data hasil yang memadai (akurat) dan sedikit evaluasi yang memiliki analisis yang kuat terhadap dampak program. Upaya-upaya diseminasi temuan-temuan kepada penyandang dana, para stakeholder dari pemerintah, serta akademikus juga lemah. Para penulis memberikan rekomendasi-rekomendasi untuk memperbaiki evaluasi-evaluasi program federal secara luas.


Lake, D. (2002). “Critical Social Numeracy.” The Social Studies. 93 (1): 4-10.
Artikel ini menyajikan bagaimana adaptasi penggunaan asesmen model SOLO taxonomy dari Biggs dan Collis (1982)  untuk menumbuhkan tingkat kritis siswa dalam pendidikan ilmu-ilmu sosial. Penulis telah menggunakan adaptasi SOLO Taxonomy untuk mengajarkan  bilangan kritis dalam bentuk grafik-grafik dan tabel-tabel selama tiga tahun untuk tahun pertama siswa menengah atas. Pengalaman serupa juga digunakan ketika mengajar di Universitas Murdoch, Australia. Menurut pengalaman Lake, adaptasi SOLO taxonomy  memiliki  potensi untuk digunakan sebagai kekuatan alat pengajaran, yakni pengembangan kecakapan-kecakapan yang dapat memupuk tumbuhnya lingkungan pembelajaran sebagaimana direkomendasikan oleh penelitian Lawson (1985), Lawson dan Smitgen (1982), serta Shayer dan Adey (1992a, 1993b).

Lim, E.P.Y. dan Tan, A. (1999). “Educational Assesment in Singapore.” Assesment in Education. 6 (3): 391-404.
Kedua penulis memaparkan  model asesmen yang dibentuk di Singapura, dikaitkan dengan program dan kebijakan pendidikan negara itu, sebagaimana terdapat dalam prinsip-prinsip umum dan praktek asesmen. Penulis juga memaparkan satu profil sistem asesmen di Singapura serta bagaimana penerapannya dalam kerangka pemenuhan sumber daya manusia. Di Singapura, ujian nasioal dan asesmen berbasis sekolah dianggap menjadi batu pijakan dalam sistem pendidikan nasional sebagai ciri pembeda dalam model asesmen. Hal menarik dari artikel ini ialah, karena kedua penulis (saat artikel ditulis) merupakan pejabat di kementerian pendidikan di Sinagpura, sehingga merupakan informasi penting dari sumber pertama pelaku kebijakan di sana.




McNall, M., dan Foster-Fishman, P. G. (2007). “Methods of Rapid Evaluation, Assessment, and Appraisal.” American Journal of Evaluation. 28 (2): 151-168.
Kedua penulis menyajikan hasil tinjauan kepustakaan (review of literature) terhadap beberapa model cepat metode evaluasi, asesmen dan penaksiran (appraisal). Model cepat dilatarbelakangi oleh pengalaman ketika mengumpulkan data dan analisisnya pada peristiwa konflik bersenjata antar negara di Timur Tengah, Afrika dan Asia Selatan yang mengakibatkan krisis kemanusian, korban kematian, pengungsian, juga korban bencana alam. Untuk itu perlu pengumpulan data cepat dan analisis untuk membantu pembuatan keputusan penting, pemberian hibah, serta proses pembuatan kebijakan.  Di antara metode-metoda cepat evaluasi, asesmen, dan penaksiran itu metode yang dapat dipergunakan antara lain: “Real Time Evaluation” (RTE), “Rapid-Feedback Evaluation” (RFE), “Rapid Assessment” (RA), “Rapid Ethnographic Assessment” (REA), “Rapid Evaluation Methods” (REM), “Rapid Rural Appraisal” (RRA), dan “Participatory Rural Appraisal” (PRA).

Micari, M., et. al. (2007). “Assessment Beyond Performance Phenomenography in Educational Evaluation.” American Journal of Evaluation, 28 (4): 458-476.
Di dalam artikel ini para penulis mempersoalkan akuntabilitas di bidang pendidikan yang mendukung perbaikan dengan pendekatan evaluasi (penilaian) kuantitatif untuk mengukur kinerja siswa. Hal ini dianggap meminggirkan arti penting  pendekatan kualitatif, dengan mengurangi makna kekayaan evaluasi pendidikan hanya sebagai kegiatan usaha. Keempat penulis artikel ini menyatakan bahwa penilaian tidak serta merta hanya kinerja (performance),  tetapi juga bagaimana para siswa berpikir  dan bagaimana mereka menghubungkan perubahan pemikiran yang seharusnya oleh guru/pendidik diukur/dinilai dalam evaluasi program pendidikan.Para penulis menjelaskan satu campuran model metode evaluasi berdasarkan metode kualitatif fenomenografi yang dapat digunakan untuk mengevaluasi bagaimana para siswa berpikir dalam banyak konteks, dari pelatihan keterampilan hingga menggunakan perkembangan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dan bagaimana pemikiran mereka dapat berubah sewaktu-waktu. Para penulis juga menjelaskan dua kajian evaluasi yang menggunakan pendekatan ini dan memberikan saran-saran bagi para evaluator ketika menggunakan model fenomenografi.

Moss, P. A., dan Schutz, A. (2001). “Educational Standards, Assessment, and the Search for Consensus.” American Educational Research Journal. 38 (1): 37-70.
Dalam artikel ini, kedua penulis secara kritis mengkaji hakekat “consensus” yang tercermin dalam standar-standar (kurikulum) yang dipergunakan untuk mengarahkan program asesmen dengan target tinggi. Untuk itu, kedua penulis menganalisa kasus-kasus komplementer praktis dalam asesmen pengajaran. Seseorang yang memfokuskan kepada wacana pembentukan standar dan orang yang mengkaji bagaimana standa-standar seperti ini, secara tipikal digunakan untuk mengarahkan perkembangan asesmen dan keputusan-keputusan tentang kinerja individual. Kedua penulis menawarkan dua (persaingan secara parsial) perspektif yang dapat menjelaskan dan memandu praktek dalam kawasan perkembangan standar yang tidak terteorisasikan dan tidak terujikan. Satu didasarkan dengan etika wacana dari Jürgen Habermas dan lainnya didasarkan kepada elaborasi kritis dari filsafat hermeneutik  Hans-Georg Gadamer. Kedua penulis menawarkan pendekatan yang lebih pluralistik dengan menggambarkan filsafat hermeneutika untuk mengkaji keputusan-keputusan yang diambil para pengembang asesmen, yang mengijinkan disensus dalam proses asesmen.

Nickell, P. (1999). “The Issue of Subjectivity in Authentic Social Studies Assessment.” Social Education. 63 (6): 353-355.
Dalam artikel ini, Pat Nickel mempersoalkan asesmen “otentik” untuk mengukur lebih baik terhadap apa yang siswa lakukan dengan apa yang mereka pelajari, daripada hanya mengingat dalam waktu singkat. Telah banyak pengukuran hasil pembelajaran siswa untuk memecahkan masalah dari tes yang terstandarisasi secara “tradisional” selama lebih dari tiga perempat abad. Dalam penilaian kerja otentik dalam social studies, penulis berpendirian bahwa harus ada elemen internal ketepatan asesmen, apapun bentuk yang dipilih, sehingga akan membuat penskoran lebih sederhana dan secara signifikan mengurangi resiko subjektivitas. Elemen ini disebut “kriteria penskoran” (scoring criteria), baik untuk komponen khusus suatu tugas maupun kepastian kategori yang menjelaskan tingkat-tingkat penguasaan siswa.

Orr, S. (2007). “Assessment Moderation: Constructing the Marks and Constructing the Students.” Assessment & Evaluation in Higher Education. 32(6):645–656.
Dalam artikel ini Susan Orr membandingkan asesmen dari pendekatan tradisional yang telah menjadi arus-utama dalam penelitian asesmen di perguruan tinggi sebagaimana dilakukan oleh kaum positivis  dan pendekatan kontemporer oleh para post-strukturalis. Dalam perspektif positivis, objektivitas adalah ukuran utama sehingga sistem keyakinan, nilai-nilai dan tujuan dimana para peneliti terlibat, jarang didiskusikan ataupun dibahas. Penelitian asesmen kaum positivis ditandai oleh tekno-rasionalisme, fokus kepada konsep  transparansi, menggunakan bahasa ilmiah, menekankan kepada pengukuran, dan menekankan kepada standar bebas nilai. Di dalam perspektif post-strukturalis, asesmen dipandang telah menjadi sebuah ‘alat ideologis,’ ‘praktek  sosio-politik.’ Pendekatan psot-strukturalis terhadap asesmen memiliki asal mulanya di sektor sekolah di mana pendekatan kritis digunakan oleh penelitian yang memfokuskan kepada ‘asesmen untuk pembelajaran.’ Para peneliti yang menerima post-strukturalis berpandangan bahwa pengetahuan dan asesmennya ialah membentuk hubungan kekuasaan dalam masayarakat. Pengetahuan dan asesmen itu memperlihatkan kritik untuk mengartikulasikan keyakinan yang  para post-strukturalis miliki dan asumsi-asumsi yang membuatnya menghormati hakekat dan tujuan asesmen. Dari perspektik post-strukturalis,  asesmen dikonstruksi dalam komunitas praktis dan standar-standar secara sosial terkonstruksi, relatif, sementara dan dipertentangkan. Perspektif ini juga dalam praktek memiliki subjektivitas ganda dan kemungkinan-kemungkinan yang mempengaruhi cara-cara keputusan dibuat terhadap pekerjaan siswa.

Pahl, R. H. (2003). “Assessment Traps in K-12 Social Studies.” The Social Studies. 94 (5): 212-215.
Dalam artikel ini, penulis secara kritis melihat praktek asesmen dalam pendidikan IPS (social studies education), terutama pada tingkat negara bagian di Amerika Serikat, di mana tujuan asesmen ialah untuk meningkatkan pendidikan dan prestasi belajar siswa. Penulis menemukan ada persoalan besar asesmen di seluruh Negara bagian untuk social studies dalam hal  asesmen formatif dan sumatif, serta reliabilitas dan validitas asesmen.

Savage, T.V. (2003). “Assessment and Quality Social Studies.” The Social Studies. 94 (5): 201-206.
Penulis mengajukan pertanyaan apakah yang menentukan kualitas program pendidikan social studies (di Amerika Serikat). Penulis menyebutkan bukan guru atau para pendidik itu sendiri, tetapi oleh yang mengembangkan tes dengan target tinggi. Di sini ada dilema tentang social studies sebagai mata pelajaran penting, dan bahwa pengetahuan sejarah dan social studies menjadi kritis untuk masa depan sebuah masyarakat yang bebas. Di sisi lain, juga tidak ingin terjadi mata pelajaran ini dihapus dari ruang kelas. Dengan demikian perlu meningkatkan jumlah waktu untuk pengajaran social studies dan kerja serius untuk menghadapi kesulitan-kesulitan dengan ujian target tinggi dalam mata pelajaran ini. Penulis menawarkan beberapa solusi. Pertama, memahami persoalan terhadap gerakan testing pada social studies. Kedua, masalah keadilan sosial, di mana asesmen yang terstandarisasi menunjukan akuntabilitas. Hal lainnya, ialah perlunya mengambil tindakan untuk meningkatkan kualitas social studies.

Sceurman, G., dan Newmann, F.M. (1998).”Authentic Intellectual Work in Social Studies: Putting Performance before Pedagogy.” Social Education. 62 (1): 23-25
Kritik terhadap pembelajaran social studies kepada para siswa di Amerika Serikat, mendorong kedua penulis menyodorkan beberapa jalan keluar. Kritik pertama menyatakan bahwa pembelajaran social studies terlalu banyak dihabiskan untuk diskusi-diskusi yang tidak terfokus dan kerja kelompok yang tidak produktif, serta tidak cukup waktu  untuk mempelajari fakta-fakta sejarah, geografi ataupun pemerintahan. Kritik kedua menyatakan bahwa para siswa terlalu banyak menyerap waktu dan mereproduksi informasi  yang berasal  dari buku-buku teks dan guru, sehingga  tidak cukup waktu untuk menafsirkan dokumen-dokumen, menilai perspektif-perspektif, dan pemikiran mereka sendiri. Para guru yang setuju dengan kritik pertama cenderung untuk mengikuti pendekatan transmisi untuk pengajaran. Para guru yang menerima kritik kedua sering mengadopsi  pendekatan konstruktivis untuk pengajaran. Di luar kedua kritik itu, kedua penulis artikel ini menampilkan kriteria untuk “authentic intellectual achievement” guna mengukur hasil-hasil pembelajaran siswa. “Authentic intellectual achievement” memuat komponen konstruksi pengetahuan, pendisiplinan inkuiri, nilai (value) di luar sekolah.

Very, P.G. 1999. “Authentic Assessment and Instruction.” Social Education. 63 (6): 368-373.
Di dalam artikel ini penulis mencatat sangat sedikit penelitian empiris yang telah mengeksplorasi hakekat asesmen otentik, asesmen berbasis kinerja (performance-based assessment), serta hubungan kedua asesmen itu terhadap pengajaran dan pembelajaran siswa. Untuk itu, penulis mengkaji bagaimana demografis siswa, keterlibatan siswa, dan pengajaran guru mempengaruhi kinerja siswa atas dasar asesmen otentik terhadap sebuah tugas. Desain dan implementasi studi didasarkan kepada karya Fred Newmann dan rekan di Universitas Wisconsin, yang komponennya meliputi: authentic achievement, authentic assessment tasks, authentic instruction dan authentic student performance. 

Wolf, D. P. (1989). “Portfolio Assessment: Sampling Student Work”. Educational Leadership. 46 (7): 35-39.
Artikel ini diinspirasikan oleh upaya pencarian oleh para administrator, para guru, dan para peneliti pada 1987-an di sekolah-sekolah di Pittsburgh (Amerika Serikat) terhadap  asesmen yang terstandarisasi. Dari karya yanga ada itu, penulis menemukan bahwa di dunia terdapat perbedaan contoh-contoh untuk pengujian (testing). Asesmen portofolio dipilih sebagai satu contoh penilaian prestasi belajar siswa dengan pengalaman belajar yang dialaminya. Dari pengalaman yang ada, Wolf mengatakan bahwa pada akhir semester atau akhir tahun ajaran biasanya guru menawari siswa  terhadap kumpulan-kumpulan karya portofolio mereka, dengan memilih beberapa contoh karya terbaik. Menurut Wolf, ketika para siswa memelihara portofolio karya-karya mereka, ini akan berarti bahwa mereka belajar untuk menilai kemajuan yang dicapainya sebagai siswa, dan para guru mendapatkan pandangan-pandangan baru dari prestasi-prestasi yang mereka peroleh dari pengajaran yang telah dilakukan.



Daftar Jurnal dalam Anotasi Bibliografi ini:

American Educational Research Journal
American Journal of Evaluation
Assesment in Education
Assessment & Evaluation in Higher Education
Assessment in Education
Educational Leadership
Social Education
The Social Studies

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TERIMAKASIH

DAFTAR SEMUA POSTINGAN

free counters