Clifford Geertz adalah penulis buku legendaris The
Religion of Java, yang populer sekaligus penting bagi diskusi tentang agama
di Indonesia, khususnya di Jawa. Pandangan Geertz yang mengungkapkan tentang
adanya trikotomi--abangan, santri dan priyayi--di dalam masyarakat Jawa,
ternyata telah mempengaruhi banyak orang dalam melakukan analisis baik tentang
hubungan antara agama dan budaya, ataupun hubungan antara agama dan politik.
Dalam diskursus interaksi antara agama, khususnya Islam, dan budaya di Jawa,
pandangan Geertz telah mengilhami banyak orang untuk melihat lebih mendalam
tentang interrelasi antara keduanya. Keterpengaruhan itu bisa dilihat
dari beberapa pandangan yang mencoba menerapkan kerangka berfikir Geertz
ataupun mereka yang ingin melakukan kritik terhadap wacana Geertz
Clifford Geertz dilahirkan di San Francisco, California,
Amerika Serikat pada tanggal 23 Agustus 1926. Dia merupakan ahli antropologi
budaya yang beberapa kali melakukan penelitian lapangan di Indonesia dan
Maroko. Dia menulis esai tentang ilmu-ilmu sosial serta merupakan pelopor
pendekatan “interpretif” dalam bidang antropologi.
Karir Geertz diawali dari dunia militer, dimana dia melayani
Angkatan Laut Amerika selama Perang Dunia II. Adapun karir akademiknya dimulai
ketika dia menerima gelar sarjana dalam bidang filsafat dari Antioch College, Ohio,
pada tahun 1950.[1]
Dari Antioch ia melanjutkan studi antropolgi di Harvard University.
Pada tahun keduanya di Harvard ini, ia bersama isterinya, Hildred, pergi ke
Pulau Jawa dan tinggal di sana selama dua tahun untuk mempelajari masyarakat
multiagama, multiras yang kompleks di sebuah kota kecil –Mojokuto.
Setelah kembali ke Harvard, Geertz pada tahun 1956 memperoleh gelar doktor dari
Harvard’s Departement of Social Relations dengan spesialisasi dalam
antropologi.[2]
Sebelum bergabung dengan Institute for Advanced Study,
sebuah lembaga penelitian yang pernah menjadi rumah bagi para pemikir besar
seperti Albert Einstein, Geertz mengajar di Universitas Chicago, sebagai
profesor antropologi dan kajian perbandingan negara-negara baru. Ia juga pernah
mengajar sebagai profesor tamu di Universitas Oxford, dan sejak 1975 sampai
2000, ia menjadi profesor tamu di Universitas Princeton yang kampusnya hanya
berjarak sekitar 2 kilometer dari Institute for Advanced Study. Tahun
2000, Geertz pensiun dari Institute for Advanced Study, tetapi tidak
mengurangi produktifitasnya untuk terus menulis.[3]
Adapun tema yang dibicarakan Geertz dalam berbagai esai dan
buku yang telah diterbitkan meliputi seluruh spekturm kehidupan sosial manusia:
dari pertanian, ekonomi, dan ekologi hingga ke pola-pola kekeluargaan, sejarah
sosial, dan politik dari bangsa-bangsa berkembang; dari seni, estetika, dan
teori sastra hingga ke filsafat, sains, tehnologi, dan agama. Namun begitu,
perhatian utama Geertz lebih ditekankan pada pemikiran kembali secara serius
terhadap hal-hal pokok di dalam praktek antropologi dan ilmu sosial yang lain
–pemikiran kembali yang secara langsung berhubungan dengan usaha memahami
agama.[4]
Sebagai seorang antropolog, Clifford Geertz menjadi terkenal
dan populer di Indonesia setelah melakukan penelitian di Jawa dan Bali, yang
menghasilkan beberapa buku penting tentang Indonesia. Dan yang paling pokok,
khususnya yang berkaitan dengan kajian Penulis, adalah kajiannya tentang agama
Jawa dan politik aliran (abangan, santri dan priyayi).[5]
Geertz adalah salah seorang generasi pertama Indonesianis
yang selalu menaruh perhatian besar tentang perkembangan yang terjadi di
Indonesia. Ia memang tak pernah memiliki murid dari Indonesia, tak seperti
Indonesianis lain misalnya Daniel Lev atau Benedict Anderson yang telah
menghasilkan banyak anak didik dari Indonesia. Tetapi, perhatian Geertz yang
besar terhadap Indonesia sangat mempengaruhi perkembangan diskursus ilmu sosial
di negeri ini.
Sebagaimana dituturkan oleh Ignas Kleden, Geertz telah
menghabiskan waktu selama 10 tahun lebih dalam penelitian lapangan (di Jawa,
Bali, dan Maroko) dan 30 tahun digunakannya untuk menulis tentang hasil-hasil
penelitiannya, dengan tujuan menyampaikan pesona studi kebudayaan kepada
orang-orang lain.
Clifford Geertz meninggal dunia di kediamannya di
Pennsylvania, setelah menjalani operasi jantung di Rumah Sakit Universitas
Pennsylvania, Amerika Serikat, Pada hari Selasa tanggal 31 Oktober 2006 dalam
usia 80 tahun dengan meninggalkan banyak karya penting seperti The Interpretation
of Cultures, Islam Observed: Religious Development in Morocco and Indonesia,
Available Light, Local Knowledge, Works and Lives: The Anthropologist as
Author, After The Fact: Two Countries, Four Decades, One
Anthropologist, The Religion of Java,[6]
Peddlers and Princes, The Social History of an Indonesian Town, Kinship
in Bali, Negara: The Theater State in 19th Century Bali, dan Agricultural
Involution.[7]
Latar
Belakang Pemikiran
Untuk memahami buku The Religion of Java tampaknya
tidak akan lengkap tanpa mengetahui terlebih dahulu latar belakang antropologi
Geertz. Dan semua itu akan tampak jelas dengan memperhatikan latar belakang
pendidikan antropologinya, yakni Harvard University. Melihat latar
belakang pendidikan Geertz di bidang antropologinya ini, tampaknya ide agama
dan budaya Geertz berkembang di bawah dua pengaruh utama, yaitu tradisi
antroplogi Amerika yang independen dan kuat, dan perspektif tentang ilmu sosial
yang ia jumpai saat belajar di Harvard dibawah teoritisi terkemuka, Talcott
Parsons.[8]
Dalam tradisi antropologi Amerika,[9]
ditegaskan bahwa setiap teori harus berasal dari etnografi “partikular” yang
teliti, yaitu suatu studi yang berpusat pada satu komunitas dan mungkin memakan
waktu bertahun-tahun atau berpuluh-puluh tahun untuk menyelesaikannya.
Disamping kerja lapangan, para perintis antropologi Amerika juga memberi
tekanan pada “budaya” sebagai unit kunci studi antropologi. Mereka menegaskan
bahwa di dalam studi lapangan, mereka tidak hanya meneliti sebuah masyarakat,
tetapi juga suatu sistem ide, adat istiadat, sikap, simbol, dan institusi yang
lebih luas dimana masyarakat hanyalah suatu bagian. Dan saat mahasiswa, tentu
saja Geertz telah menyerap sebagian besar ide-ide utama para perintis
antropologi Amerika seperti Boas, Kroeber, Lowie dan Benedict kedalam
perspektif antropologinya.[10]
Adapun terhadap perspektif ilmu sosial, tampaknya Talcott
Parsons –gurunya di Harvard- telah bertindak sebagai penyalur ide-ide Weber
kepada Geertz.[11]
Parson ini merupakan teoritisi sosial terkemuka Amerika waktu itu yang sangat
terpengaruh oleh sosiolog besar asal Jerman, Max Weber. Parson ini juga yang
telah menerbitkan studi-studi orisinil dan brilian tentang hubungan antara
agama dan masyarakat. Parson ini pula yang menerjemahkan beberapa karya Weber
serta menjelaskan ide-ide pokoknya.
Dari Parson ini, Geertz diperkenalkan dengan ide-ide Weber,
terutama tentang pandangan Max Weber bahwa manusia adalah makhluk yang terjebak
dalam jejaring (web) makna yang mereka buat sendiri, maka budaya adalah
jejaring itu. Dari pandangan ini, Geertz kemudian mencoba mengelaborasi
pengertian kebudayaan sebagai pola makna (pattern of meaning) yang
diwariskan secara historis dan tersimpan dalam simbol-simbol yang dengan itu
manusia kemudian berkomunikasi, berperilaku dan memandang kehidupan.[12]
Lebih lanjut Geertz juga berpendapat bahwa untuk memahami dunia manusia yang
sarat makna, tidak cukup dengan mengandalkan logika positivisme tetapi
juga harus melibatkan metode penafsiran atas motivasi aktor penciptanya serta
berbagai komponen yang turut membentuk jaringan makna dimana aktor tersebut
merupakan bagian tak terpisahkan dari komunitasnya.[13]
Bertolak dari pemikiran seperti ini, tidaklah mengherankan jika kemudian
analisis Geertz tentang kebudayaan dan manusia tidaklah berupaya menemukan
hukum-hukum seperti di ilmu-ilmu alam, melainkan kajian intepretatif untuk
mencari makna (meaning).
Dibawah pengaruh pemikiran ala Weberian dan juga tradisi
antropologi Amerika ini, Geertz tertarik untuk memfokuskan diri pada
interpretasi simbol-simbol yang diyakininya memberikan arti dan aturan
kehidupan masyarakat. Namun begitu, tampaknya Geertz tidak hanya mau menerima
teori-teori dari para pendahulunya secara taken for granted, dimana dia
ternyata mencoba menyimpang dari tradisi antropologi sebelumnya yang memberi
perhatian utama kepada kelompok suku, atau pemukiman di sebuah pulau terpencil,
komunitas kecil petani atau penggembala, atau suku-suku terasing yang cenderung
menghilang.[14]
Sebaliknya, Geertz justru lebih tertarik memperhatikan bagaimana aspek-aspek
kehidupan yang berbeda bercampur dalam suatu kesatuan budaya dalam menyiapkan
deskripsi yang detail dan sistematis tentang masyarakat non-Barat.[15]
Kaitannya dengan pemilihan kota “Mojokuto” sebagai obyek
penelitiannya, menurut Geertz itu hanya sebuah kebetulan belaka.[16]
Namun begitu, menurut Nono Makarim –salah seorang murid Geertz di Harvard dan
juga pernah napak tilas Geertz di Pare- pemilihan Indonesia adalah karena
Indonesia pada tahun 1950-an dianggap sebagai salah satu negara yang memiliki
konstitusi yang paling maju di dunia, yang menjamin kebebasan[17]
dan kaya akan budaya dan model keberagamaannya. Kemudian, “Mojokuto” dipilih
untuk memberikan kontras terhadap kecenderungan tradisi antropologi Amerika,
karena kota kecil itu mempunyai penduduk yang melek huruf, dengan tradisi yang
tua, urban, sama sekali tidak homogen serta sadar dan aktif secara politik. Di
sana tampak jelas kebudayaan bukanlah sesuatu yang serba utuh dan padu,
melainkan penuh variasi dan diferensiasi yang sangat jauh dari pengertian
kebudayaan sebagai kesatuan pola tingkah laku yang terdapat pada suatu kelompok
orang.[18]
Diakui, “Mojokuto” ini memang merupakan suatu kota kecil di
Jawa Timur yang tak bisa mewakili kebudayaan Jawa secara keseluruhan. Namun
bagi Geertz, “Mojokuto” merupakan suatu tempat di mana makna “kejawaan” itu
dibumikan.[19]
“Mojokuto” begitu complicated akibat benturan budaya, dimana Islam,
Hinduisme, dan tradisi animisme pribumi “berbaur” dalam satu sistem sosial.[20]
Dalam upayanya untuk menguak fenomena menarik berkenaan
dengan masyarakat di Mojokuto, Geertz melihatnya sebagai suatu sistem sosial
dengan kebudayaannya yang akulturatif dan agamanya yang sinkretik, yang
terdiri atas sub-kebudayaan Jawa yang masing-masing merupakan struktur-struktur
sosial yang berlainan. Struktur-struktur sosial yang dimaksud adalah Abangan
(yang intinya berpusat di pedesaan), Santri (yang intinya berpusat
di tempat perdagangan atau pasar), Priyayi (yang intinya berpusat di
kantor pemerintahan, di kota).[21]
Namun demikian, ketiga inti struktur sosial di Jawa; desa, pasar, dan
birokrasi pemerintah pada masa itu oleh Geertz dipandang dalam pengertian yang
luas.[22]
Menurut Geertz, tiga tipe kebudayaan –abangan, santri, dan
priyayi- merupakan cerminan organisasi moral kebudayaan Jawa, dimana ketiganya
ini merupakan hasil penggolongan penduduk Mojokuto berdasarkan pandangan
mereka, yakni kepercayaan keagamaan, preferensi etnis dan ideologi politik.
Selain itu, di Mojokuto ini juga terdapat lima jenis mata pencaharian utama
–petani, pedagang kecil, pekerja tangan yang bebas, buruh kasar dan pegawai,
guru atau administratur- yang kesemuanya mencerminkan dasar organisasi sistem
ekonomi kota ini dan darimana tipologi ini dihasilkan.[23]
Dengan kenyataan tersebut diatas serta berbekal kerangka
pikir ala Weberian, tampaknya Geertz melihat bahwa dibalik pernyataan sederhana
penduduk Jawa yang 90 % beragama Islam, sesungguhnya terdapat variasi dalam
sistem kepercayaan, nilai, dan upacara yang berkaitan dengan masing-masing
struktur sosial tersebut. Oleh karena itu, masalah-masalah yang perlu
dirumuskan dalam penelitian di Mojokuto ini adalah sebagai berikut:
- Sejauhmana realitas kemajuan, kedalaman dan kekayaan kehidupan spiritual masyarakat Jawa –yang notabenenya lebih dulu mengalami peradaban daripada Inggris?[24]
- Bagaimana hubungan antara struktur-struktur sosial yang ada dalam suatu masyarakat dengan pengorganisasian dan perwujudan simbol-simbol?
- Bagaimana para anggota masyarakat mewujudkan adanya integrasi dan disintegrasi dengan cara mengorganisasi dan mewujudkan simbol-simbol tertentu?[25]
Metode
Penelitian Geertz
Secara tersurat –sebagaimana ditulis Parsudi Suparlan-
Geertz memang tidak mengatakan kerangka teori apa yang dipakai. Namun demikian,
penelitian lapangan yang dilakukan dalam rangka penyusunan laporan untuk
disertasi doktoralnya di Departemen Hubungan Sosial Universitas Harvard ini,
tampaknya Geertz menggunakan penelitian kualitatif,[26]
dengan pendekatan yang berorientasi hermeneutik, yang belakangan dikenal
dengan pendekatan interpretif.[27]
Dengan pendekatan interpretif ini, Geertz melihat kebudayaan sebagai sistem
pemaknaan yang harus dipahami secara semiotik, yakni sebagai jejaring makna (webs
of significance) atau pola-pola makna yang terwujud sebagai simbol-simbol
sehingga analisis terhadapnya haruslah bersifat interpretif, yakni untuk
menelusuri makna,[28]
dan menemukan maksud di balik apa yang dilakukan orang, signifikansi
ritual, struktur, dan kepercayaannya bagi semua kehidupan dan pemikiran.[29]
Adapun untuk mengurai jejaring makna tersebut, Geertz
menggunakan teori “Skismatik dan Aliran”. Namun begitu, Teori Skismatik Geertz
ini sedikit berbeda dengan teori skismatik-nya Robert Jay, dimana menurut Teori
Skismatik Jay, akar-akar konfrontasi (skisma) antara santri dan abangan bermula
dari proses islamisasi awal di berbagai tempat, khususnya Jawa. Wilayah-wilayah
yang pada umumnya pengaruh Hindu-Budha-nya tipis –terutama daerah-daerah
pesisir utara Jawa, telah mengkonversi Islam secara total dan menerima apa
adanya. Sehingga, mereka-mereka ini kelak akan menjadi kekuatan Islam yang skripturalis,
atau lebih tepat disebut “santri”. Sebaliknya, untuk wilayah-wilayah tertentu
di pedalaman dimana kekuatan Hindu-Budha-nya cukup kuat terutama daerah-daerah
pedalaman, seringkali menunjukkan antara Islam dan kekuatan lokal saling melakukan
penetrasi. Sehingga kemudian transformasi sosial-budaya dan agama menjadi
sesuatu yang sinkretik dan pada akhirnya banyak melahirkan
kelompok-kelompok abangan.[30]
Clifford Geertz mengelaborasi kenyataan ini lebih jauh lagi,
bahwa ternyata skismatik sebagai fenomena pertarungan antara Islam dan kekuatan
lokal, pada dimensi-dimensi tertentu sebenarnya tidak bisa menggambarkan secara
utuh kenyataan Islam di Jawa. Ternyata masih ada kekuatan lain selain abangan
dan santri dalam kenyataan sosial budaya masyarakat Jawa, yakni kelompok
“priyayi”. Kelompok ini dalam keseharian, memiliki sejumlah karakter yang
berbeda seperti apa yang biasa dilakukan oleh para santri dan abangan.[31]
Adapun mengenai metode kerja yang digunakan Geertz dalam
penyusunan buku The Religion of Java ini, sebagaimana yang diungkapkan
oleh Geertz sendiri, meliputi tiga tahapan. Tahap Pertama, Persiapan
intensif dalam Bahasa Indonesia di Universitas Harvard, yang kemudian
dilanjutkan dengan mewawancarai sarjana-sarjana Belanda yang ahli tentang
Indonesia di Universitas Leiden dan di Tropical Institute, Amsterdam,
pada bulan Juli sampai Oktober 1952.
Tahap Kedua, dari bulan Oktober 1952 sampai Mei 1953 mempelajari bahasa
Jawa di Yogyakarta dengan mempergunakan mahasiswa-mahasiswa UGM sebagai media
untuk memperoleh pengetahuan umum mengenai kebudayaan dan kehidupan kota Jawa.
Pada tahap ini juga dilakukan wawancara dengan pemimpin-pemimpin agama dan
politik di Jakarta, sekaligus mengumpulkan statistik dan menyelidiki organisasi
birokrasi pemerintah pada umumnnya dan Departemen Agama pada khususnya.
Tahap Ketiga, antara Mei 1953 sampai September 1954, yang merupakan masa
penelitian lapangan yang sesungguhnya, dan dilakukan di Mojokuto. Dalam tahap
ini, Geertz beserta istrinya tinggal di rumah seorang buruh kereta api di ujung
kota.[32]
Selama berada di Mojokuto ini, Geertz mengaku bahwa
pengumpulan data dalam penelitiannya –sebagian besar- tidak dilakukan melalui
wawancara resmi dengan informan khusus, tetapi lebih sering dilakukan dengan
kegiatan observasi-partisipasi. Hal ini dibuktikan dengan pengakuan Geertz yang
sering mengikuti perayaan umum, rapat-rapat organisasi, upacara-upacara dan
sebagainya.[33]
Dengan demikian, setelah membaca buku “Abangan, Santri,
Priyayi dalam Masyarakat Jawa” serta sumber-sumber lain, secara umum dapat
disimpulkan bahwa metode yang digunakan oleh Geertz dalam penelitian lapangan
ini adalah penguasaan bahasa lokal, pemanfaatan banyak informan lokal,
pembagian tugas dengan tim peneliti lain, pendalaman topik-topik tertentu yang
membutuhkan detail, dan pengumpulan data-data statistik. Dan bagian terbesarnya
digunakan untuk kegiatan observasi-partisipatif.
Agama
Masyarakat Jawa Menurut Geertz
Setelah melakukan penelitian lapangan di Mojokuto dari bulan
Mei 1953 sampai bulan September 1954, yang kemudian diajukan sebagai disertasi
doktoral dan diterbitkan dengan judul The Religion of Java, tampak ada
beberapa hal yang menarik untuk dikaji, antara lain:
1. Agama sebagai fakta budaya
Clifford Geertz dalam antropologi budaya kehidupan Jawa, ia
melihat agama sebagai fakta budaya –bukan semata-mata sebagai ekspresi
kebutuhan sosial, ketegangan ekonomi atau neurosis tersembunyi
--meskipun hal-hal ini juga diperhatikan—melalui simbol, ide, ritual, dan adat
kebiasaanya. Agama juga bukan hanya berkutat dengan wacana kosmis tentang
asal-usul manusia, surga, dan neraka, tetapi juga merajut perilaku politik saat
memilih partai, jenis perhelatan, dan corak paguyuban. Praktik-praktik beragama
seperti itulah yang memberi semacam “peta budaya” untuk melacak jaringan sosial
yang dibentuk oleh warga. Realitas keagamaan dalam keseharian, menurut perspektif
Geertz, sangat pluralistis daripada doktrin formal yang menekankan wacana
standar yang global.[34]
Selain itu, menurut Geertz, agama tidak hanya memainkan
peranan yang integratif dan menciptakan harmoni sosial tapi juga peranan
memecah masyarakat. Dengan demikian ketiga varian agama “Jawa” di Mojokuto itu
mempunyai peranan yang saling kontradiksi.[35]
2. Trikotomi budaya (agama?)
“Jawa”
Dalam buku Abangan, Santri, Priyayi dalam masyarakat Jawa,
Geertz juga menyuguhkan fenomena agama “Jawa” ke dalam tiga varian utama:
abangan, santri, dan priyayi. Trikotomi agama “Jawa” itulah yang sampai
sekarang terus disebut-sebut dalam wacana sosial, politik, dan budaya di
Indonesia dan menjadikannya referensi induk atas upaya ilmuwan sosial di
belakangnya yang membedah tentang Jawa. Kekuatan utama Geertz mengungkap
fenomena agama “Jawa” adalah kemampuan mendeskripsikan secara detail ketiga
varian tersebut dan menyusun ulang dalam konklusi hubungan konflik dan
integrasi yang logis dan utuh atas ketiga varian tersebut.
3. Hubungan antara Islam dan
masyarakat Jawa
Salah satu yang mengedepan dari konsepsi Geertz adalah
pandangannya tentang dinamika hubungan antara Islam dan masyarakat Jawa yang
sinkretik. Sinkretisitas tersebut nampak dalam pola dari tindakan orang Jawa
yang cenderung tidak hanya percaya terhadap, hal-hal gaib dengan seperangkat
ritual-ritualnya, akan tetapi juga pandangannya bahwa alam diatur sesuai dengan
hukum-hukumnya dengan manusia selalu terlibat di dalamnya. Hukum-hukum itu yang
disebut sebagai numerologi. Melalui numerologi inilah manusia melakukan
serangkaian tindakan yang tidak boleh bertentangan dengannya. Hampir seluruh
kehidupan orang Jawa di-setting berdasarkan hitungan-hitungan yang
diyakini keabsahannya. Kebahagiaan atau ketidakbahagian hidup di dunia
ditentukan oleh benar atau tidaknya pedoman tersebut dilakukan dalam kehidupan.
Penggunaan numerologi yang khas Jawa itu menyebabkan adanya asumsi bahwa orang
jawa tidak dengan segenap fisik dan batinnya ketika memeluk Islam sebagai
agamanya. Di sinilah awal mula “perselingkuhan” antara dua keyakinan: Islam dan
budaya Jawa.[36]
Apresiasi
untuk Geertz
Tidak bisa disangkal, Clifford Geertz
sangat mempengaruhi pemikiran banyak orang tentang budaya. Geertz
menggambarkan bagaimana simbol-simbol mempengaruhi dan membentuk kehidupan
sosial. Hanya saja, Geertz tidak memberikan banyak perhatian pada proses
sebaliknya, yaitu bagaimana realitas sosial dan si pelaku dalam realitas itu
mempengaruhi dan membentuk simbol-simbol. Sebenarnya, manusia ditentukan oleh
budaya-budaya dan budaya juga ditentukan oleh manusia. Budaya dan manusia
dikonstruksi melalui proses yang sering disebut ‘praksis’, yaitu sebuah konsep
yang menekankan adanya hubungan timbal balik antara si pelaku aktif dengan
kebudayaan sebagai struktur obyektif. Proses itu juga bisa dijelaskan dengan
tiga prinsip yang dikemukakan oleh Peter L. Berger & Thomas Luckmann:
a. Kebudayaan dibentuk oleh manusia;
b. Manusia dibentuk oleh kebudayaan;
c. Kebudayaan menjalani hidup sendiri.
Dari ketiga prinsip tersebut dapat
dijelaskan bahwa budaya memerlukan manusia sebagai aktor untuk
diproduksikan dan direproduksikan melalui proses pemberian makna terhadap
kehidupannya. Manusia tidak hanya dikondisikan oleh budaya-budaya, baik secara
sadar atau tidak sadar, tetapi manusia juga dapat mempengaruhi budaya. Manusia
bisa mengubah dan menambahkan nilai dan norma, meskipun akan menghadapi
struktur-struktur yang tidak dapat diubah dengan mudah.[37]
Kaitannya dengan “trikotomi yang dibuat Geertz, tentunya
bukan Geertz yang menemukan istilah santri, abangan, dan priyayi dalam The
Religion of Java,[38]
karena istilah-istilah itu sendiri sudah dipakai di kalangan yang lebih
terbatas. Namun, harus diakui Geertz-lah yang pertama kali mensistematisasi
istilah-istilah itu sebagai perwakilan kelompok-kelompok kultural yang penting.
Sebagai sebuah konsepsi, harus diakui pula bahwa trikotomi
Geertz ini adalah sebuah sumbangan yang luar biasa bagi masyarakat Jawa
khususnya, dan Indonesia pada umumnya karena mampu memberikan semacam “peta
budaya” yang selanjutnya dapat digunakan untuk menganalisa bagaimana pola
hubungan antara agama dengan politik, relasi agama-sosial, serta agama-ekonomi.
Namun demikian, tesis “trikotomisasi” Geertz tampak sekali membuka peluang untuk
diperdebatkan. Hal ini terbukti dengan “keberhasilan” teori Geertz itu dalam
memantik berbagai reaksi, baik yang pro maupun yang kontra. Di antara yang
menolak konsepsi Geertz adalah Harsja W. Bachtiar, ahli sejarah sosial, yang
mencoba mengkontraskan konsepsi Geertz dengan realitas sosial.
Di antara konsepsi yang ditolaknya adalah mengenai
pencampuran istilah priyayi (yang merupakan kategori kelas) dengan
istilah santri dan abangan (kategori keagamaan. Abangan adalah
lawan dari mutihan, sebagai kategori ketaatan beragama dan bukan
klasifikasi sosial. Demikian pula konsep priyayi juga berlawanan dengan wong
cilik dalam penggolongan sosial. Jadi, terdapat kekacauan dalam
penggolongan abangan, santri dan priyayi.[39]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa salah satu kelemahan tulisan Geertz ini
adalah terdapatnya ketidakparalelan dalam susunan kategorisasi. Di satu sisi
terdapat strata “ekonomi” untuk menggambarkan priyayi, sementara di sisi
lain terdapat kategori “religi” ketika dia menggambarkan santri dan abangan.
Hal ini berarti Geertz telah mengacaukan dua pembagian yang termasuk susunan
yang berlainan, serta mencampuradukkan pembagian horisontal dan vertikal dalam
masyarakat Jawa karena pada kenyataannya terdapat priyayi yang abangan
atau priyayi yang santri.[40]
Terlepas dari berbagai kritik terhadap teori Geertz,
tampaknya kita patut memberikan penghargaan kepadanya atas pandangannya
mengenai tipologi masyarakat Indonesia (Jawa). Lewat buah pengamatan Geertz
yang dituangkan dalam buku The Religion of Java ini keberadaan abangan,
santri, dan priyayi di masyarakat Jawa dikenal luas. Dan dari laporan Geertz
ini pula, kita “dikejutkan” dengan sebuah kenyataan bahwa muslim
“Mojokuto” (Indonesia?) walaupun mayoritas tetapi masih abangan, dimana hanya
lapisan atasnya saja yang Islam, sementara di lapisan bawahnya kejawen.
Lebih dari itu semua, Geertz telah memberikan kontribusi
pemikiran yang sangat besar terhadap ilmu-ilmu sosial di Indonesia dan dunia,
khususnya antropologi dan sosiologi, karena keberaniannya melawan suatu tradisi
besar di dalam ilmu sosial, yaitu tradisi positivisme yang sarat dengan
pendekatan kuantitatif. Seandainya Geertz dan pendekatan Antropologi
Interpretif tak ada, mungkin kita akan tetap membaca buku-buku teks antropologi
dan sosiologi yang memperlakukan budaya sebagai suatu gejala universal dengan
narasi besar tanpa melihat bagaimana secara kontekstual dan secara historis
kultur-kultur lokal itu “dibangun.”
2. Cornelis
Van Vollenhoven Tentang Hukum Adat Di Indonesia
Cornelis van Vollenhoven
(lahir di Dordrecht, Belanda,
8
Mei
1874 – meninggal
di Leiden,
Belanda,
29
April 1933
pada umur 58 tahun) adalah seorang antropolog
Belanda
yang dikenal akan karyanya "Hukum
Adat"
di Hindia-Belanda sehingga ia
dijuluki "Bapak Hukum Adat".
Kebanyakan masa hidupnya difokuskan
untuk mempelajari hukum adat Indonesia
dan kemudian mengampanyekan pelestariannya. Tulisan-tulisannya umumnya
berkaitan dengan hukum adat, seperti Het Ontdekking van Adatrecht,
Orientatie in het Adatrecht van Nederlandsch-Indie (1913). Mahakaryanya
adalah kumpulan tulisan yang berjilid-jilid Het Adatrecht van
Nederlandsch-Indië ("Hukum Adat Hindia Belanda") yang berisi
kajian dan kumpulan hukum adat dari 19 lingkungan adat di Hindia Belanda yang
berbeda dari tradisi adat kaum pendatang (Vreemde Oosterlingen-
Kaum Timur Asing, seperti suku Arab,
Tionghoa,
dan India). Yang
mengagumkan adalah kenyataan bahwa sebagian besar karyanya dikerjakan di
Leiden. Van Vollenhoven hanya dua kali mengunjungi Hindia-Belanda, yaitu pada 1907
dan 1923.
Hukum Adat
Hukum adat
adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia
dan negara-negara Asia
lainnya seperti Jepang,
India,
dan Tiongkok.
Hukum adat adalah hukum asli bangsa Indonesia.
Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum
tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran
hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh
kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis.
Selain itu dikenal pula masyarakat hukum adat yaitu sekelompok orang yang
terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum
karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.
Terminologi
Ada dua
pendapat mengenai asal kata adat ini. Disatu pihak ada yang menyatakan
bahwa adat diambil dari bahasa Arab yang berarti kebiasaan.
Sedangkan menurut Prof. Amura, istilah ini berasal
dari bahasa Sansekerta
karena menurutnya istilah ini telah dipergunakan oleh orang Minangkabau
kurang lebih 2000 tahun yang lalu. Menurutnya adat berasal dari dua
kata, a dan dato. A berarti tidak dan dato berarti sesuatu yang
bersifat kebendaan.
Perdebatan istilah Hukum Adat
Hukum Adat
dikemukakan pertama kali oleh Prof. Snouck Hurgrounje
seorang Ahli Sastra Timur dari Belanda (1894). Sebelum istilah Hukum Adat berkembang, dulu dikenal
istilah Adat Recht. Prof. Snouck Hurgrounje
dalam bukunya de atjehers (Aceh) pada tahun 1893-1894 menyatakan hukum rakyat Indonesia
yang tidak dikodifikasi adalah de atjehers.
Kemudian istilah
ini dipergunakan pula oleh Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven,
seorang Sarjana Sastra yang juga Sarjana Hukum yang pula menjabat sebagai Guru
Besar pada Universitas Leiden di Belanda. Ia
memuat istilah Adat Recht dalam bukunya yang berjudul Adat Recht van
Nederlandsch Indie (Hukum Adat Hindia Belanda) pada tahun 1901-1933.
Perundang-undangan
di Hindia
Belanda secara resmi mempergunakan istilah ini pada tahun 1929 dalam Indische
Staatsregeling (Peraturan Hukum Negeri Belanda), semacam
Undang Undang Dasar Hindia
Belanda, pada pasal 134 ayat (2) yang berlaku pada tahun 1929.
Dalam masyarakat Indonesia,
istilah hukum adat
tidak dikenal adanya. Hilman Hadikusuma
mengatakan bahwa istilah tersebut hanyalah istilah teknis saja.
Dikatakan demikian karena istilah tersebut hanya tumbuh dan dikembangkan oleh
para ahli hukum
dalam rangka mengkaji hukum
yang berlaku dalam masyarakat Indonesia yang kemudian dikembangkan ke dalam suatu sistem
keilmuan.
Dalam bahasa Inggris dikenal
juga istilah Adat Law, namun perkembangan yang ada di Indonesia
sendiri hanya dikenal istilah Adat saja, untuk menyebutkan sebuah sistem
hukum yang dalam dunia ilmiah dikatakan Hukum Adat.
Pendapat ini
diperkuat dengan pendapat dari Muhammad Rasyid Maggis
Dato Radjoe Penghoeloe sebagaimana dikutif oleh Prof. Amura : sebagai
lanjutan kesempuranaan hidupm selama kemakmuran berlebih-lebihan karena
penduduk sedikit bimbang dengan kekayaan alam yang berlimpah ruah, sampailah
manusia kepada adat.
Sedangkan pendapat Prof. Nasroe menyatakan bahwa adat
Minangkabau
telah dimiliki oleh mereka sebelum bangsa Hindu datang ke Indonesia
dalam abad ke satu tahun masehi.
Prof. Dr. Mohammad Koesnoe,
S.H. di dalam bukunya mengatakan bahwa istilah Hukum Adat telah
dipergunakan seorang Ulama Aceh[1]
yang bernama Syekh Jalaluddin bin Syekh
Muhammad Kamaluddin Tursani (Aceh Besar) pada tahun 1630.[2] Prof. A. Hasymi menyatakan bahwa
buku tersebut (karangan Syekh Jalaluddin) merupakan buku yang mempunyai suatu
nilai tinggi dalam bidang hukum yang baik.
Perdebatan Definisi Hukum Adat
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, adat
adalah aturan (perbuatan dsb) yg lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu
kala; cara (kelakuan dsb) yg sudah menjadi kebiasaan; wujud gagasan kebudayaan
yg terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yg satu dng
lainnya berkaitan menjadi suatu sistem. Karena istilah Adat yang telah diserap
kedalam Bahasa Indonesia menjadi kebiasaan maka istilah hukum adat dapat
disamakan dengan hukum kebiasaan.[3]
Namun
menurut Van Dijk, kurang tepat bila hukum
adat diartikan sebagai hukum kebiasaan.[4]
Menurutnya hukum kebiasaan adalah
kompleks peraturan hukum yang timbul karena kebiasaan berarti demikian lamanya
orang bisa bertingkah laku menurut suatu cara tertentu sehingga lahir suatu
peraturan yang diterima dan juga diinginkan oleh masyarakat. Jadi, menurut Van Dijk, hukum adat dan hukum kebiasaan itu
memiliki perbedaan.
Sedangkan
menurut Soejono Soekanto, hukum
adat hakikatnya merupakan hukum kebiasaan, namun kebiasaan yang mempunyai
akhibat hukum (das sein das sollen).[5]
Berbeda dengan kebiasaan (dalam arti biasa), kebiasaan yang merupakan penerapan
dari hukum adat adalah perbuatan-perbuatan yang dilakukan berulang-ulang dalam
bentuk yang sama menuju kepada Rechtsvaardige Ordening Der Semenleving.
Menurut
Ter Haar yang terkenal dengan
teorinya Beslissingenleer (teori keputusan)[6]
mengungkapkan bahwa hukum adat mencakup seluruh peraturan-peraturan yang
menjelma didalam keputusan-keputusan para pejabat hukum yang mempunyai
kewibawaan dan pengaruh, serta didalam pelaksanaannya berlaku secara serta
merta dan dipatuhi dengan sepenuh hati oleh mereka yang diatur oleh keputusan
tersebut. Keputusan tersebut dapat berupa sebuah persengketaan, akan tetapi
juga diambil berdasarkan kerukunan dan musyawarah. Dalam tulisannya Ter Haar juga menyatakan bahwa
hukum adat dapat timbul dari keputusan warga masyarakat.
Syekh Jalaluddin[7]
menjelaskan bahwa hukum adat pertama-tama merupakan persambungan tali antara
dulu dengan kemudian, pada pihak adanya atau tiadanya yang dilihat dari hal
yang dilakukan berulang-ulang. Hukum adat tidak terletak pada peristiwa
tersebut melainkan pada apa yang tidak tertulis dibelakang peristiwa tersebut,
sedang yang tidak tertulis itu adalah ketentuan keharusan yang berada
dibelakang fakta-fakta yang menuntuk bertautnya suatu peristiwa dengan
peristiwa lain.
Definisi Hukum Adat
Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven
Menurut Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven, hukum
adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang disatu pihak
mempunyai sanksi (hukum) dan dipihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasi
(adat). Tingkah laku positif memiliki makna hukum yang dinyatakan berlaku
disini dan sekarang. Sedangkan sanksi yang dimaksud adalah reaksi (konsekuensi)
dari pihak lain atas suatu pelanggaran terhadap norma (hukum). Sedang
kodifikasi dapat berarti sebagai berikut.
·
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
kodifikasi berarti himpunan berbagai peraturan menjadi undang-undang; atau hal
penyusunan kitab perundang-undangan; atau penggolongan hukum dan undang-undang
berdasarkan asas-asas tertentu dl buku undang-undang yg baku.
·
menurut Prof. Djojodigoeno
kodifikasi adalah pembukuan secara sistematis suatu daerah / lapangan bidang hukum
tertentu sebagai kesatuan secara bulat (semua bagian diatur), lengkap (diatur
segala unsurnya) dan tuntas (diatur semua soal yang mungkin terjadi).
Ter Haar
Ter Haar membuat dua perumusan
yang menunjukkan perubahan pendapatnya tentang apa yang dinamakan hukum adat.
·
Hukum adat lahir dan dipelihara oleh
keputusan-keputusan warga masyarakat hukum adat, terutama keputusan yang berwibawa
dari kepala-kepala rakyat (kepala adat) yang membantu pelaksanaan-pelaksanaan
perbuatan-perbuatan hukum, atau dalam hal pertentangan kepentingan keputusan
para hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang keputusan-keputusan
tersebut karena kesewenangan atau kurang pengertian tidak bertentangan dengan
keyakinan hukum rakyat, melainkan senafas dan seirama dengan kesadaran
tersebut, diterima, diakui atau setidaknya tidak-tidaknya ditoleransi.[8]
·
Hukum adat yang berlaku tersebut hanya
dapat diketahui dan dilihat dalam bentuk keputusan-keputusan para fungsionaris
hukum (kekuasaan tidak terbatas pada dua kekuasaan saja, eksekutif dan
yudikatif) tersebut. Keputusan tersebut tidah hanya keputusan mengenai suatu
sengketa yang resmi tetapi juga diluar itu didasarkan pada musyawarah
(kerukunan). Keputusan ini diambil berdasarkan nilai-nilai yang hidup sesuai
dengan alam rohani dan hidup kemasyarakatan anggota-anggota persekutuan tersebut.[9]
Lingkungan Hukum Adat
Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven membagi
Indonesia
menjadi 19 lingkungan hukum adat (rechtsringen). Satu daerah yang
garis-garis besar, corak dan sifat hukum adatnya seragam disebutnya sebagai rechtskring.
Setiap lingkungan hukum adat tersebut dibagi lagi dalam beberapa bagian yang
disebut Kukuban Hukum (Rechtsgouw).
Lingkungan hukum adat tersebut adalah sebagai berikut.
- Aceh (Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, Semeuleu)
- Tanah Gayo, Alas dan Batak
- Tanah Gayo (Gayo lueus)
- Tanah Alas
- Tanah Batak (Tapanuli)
- Tapanuli Utara; Batak Pakpak (Barus), Batak karo, Batak Simelungun, Batak Toba (Samosir, Balige, Laguboti, Lumbun Julu)
- Tapanuli Selatan; Padang Lawas (Tano Sepanjang), Angkola, Mandailing (Sayurmatinggi)
- Nias (Nias Selatan)
- Tanah Minangkabau (Padang, Agam, Tanah Datar, Limapuluh Kota, tanah Kampar, Kerinci)
- Mentawai (Orang Pagai)
- Sumatera Selatan
- Bengkulu (Renjang)
- Lampung (Abung, Paminggir, Pubian, Rebang, Gedingtataan, Tulang Bawang)
- Palembang (Anak lakitan, Jelma Daya, Kubu, Pasemah, Semendo)
- Jambi (Batin dan Penghulu)
- Enggano
- Tanah Melayu (Lingga-Riau, Indragiri, Sumatera Timur, Orang Banjar)
- Bangka dan Belitung
- kalimantan (Dayak Kalimantan Barat, Kapuas, Hulu, Pasir, Dayak, Kenya, Dayak Klemanten, Dayak Landak, Dayak Tayan, Dayak Lawangan, Lepo Alim, Lepo Timei, Long Glatt, Dayat Maanyan, Dayak Maanyan Siung, Dayak Ngaju, Dayak Ot Danum, Dayak Penyambung Punan)
- Gorontalo (Bolaang Mongondow, Boalemo)
- Tanah Toraja (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja Baree, Toraja Barat, Sigi, Kaili, Tawali, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang, Kep. Banggai)
- Sulawesi Selatan (Orang Bugis, Bone, Goa, Laikang, Ponre, Mandar, Makasar, Selayar, Muna)
- Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore, Halmahera, Tobelo, Kep. Sula)
- Maluku Ambon (Ambon, Hitu, Banda, Kep. Uliasar, Saparua, Buru, Seram, Kep. Kei, Kep. Aru, Kisar)
- Irian
- Kep. Timor (Kepulauan Timor, Timor, Timor Tengah, Mollo, Sumba, Sumba Tengah, Sumba Timur, Kodi, Flores, Ngada, Roti, Sayu Bima)
- Bali dan Lombok (Bali Tanganan-Pagrisingan, Kastala, Karrang Asem, Buleleng, Jembrana, Lombok, Sumbawa)
- Jawa Pusat, Jawa Timur serta Madura (Jawa Pusat, Kedu, Purworejo, Tulungagung, Jawa Timur, Surabaya, Madura)
- Daerah Kerajaan (Surakarta, Yogyakarta)
- Jawa Barat (Priangan, Sunda, Jakarta, Banten)[10]
Penegak hukum adat
Penegak hukum
adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat disegani dan besar
pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat untuk menjaga keutuhan hidup
sejahtera.
Aneka Hukum Adat
Hukum Adat berbeda di tiap
daerah karena pengaruh
1. Agama :
Hindu, Budha, Islam, Kristen dan sebagainya. Misalnya : di Pulau Jawa dan
Bali dipengaruhi agama Hindu, Di Aceh dipengaruhi Agama Islam, Di Ambon dan
Maluku dipengaruhi agama Kristen.
2. Kerajaan
seperti antara lain: Sriwijaya, Airlangga, Majapahit.
3. Masuknya
bangsa-bangsa Arab, China, Eropa.
Pengakuan Adat oleh Hukum Formal
Mengenai
persoalan penegak hukum adat Indonesia, ini memang sangat prinsipil karena adat merupakan
salah satu cermin bagi bangsa, adat merupkan identitas bagi bangsa, dan
identitas bagi tiap daerah. Dalam kasus sala satu adat suku Nuaulu yang terletak di
daerah Maluku
Tengah, ini butuh kajian adat yang sangat mendetail lagi, persoalan kemudian
adalah pada saat ritual adat suku tersebut, dimana proses adat itu membutuhkan kepala manusia
sebagai alat atau prangkat proses ritual adat suku Nuaulu tersebut. Dalam
penjatuhan pidana oleh sala satu Hakim pada Perngadilan Negeri
Masohi di Maluku Tengah, ini pada penjatuhan hukuman mati, sementara dalam
Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 tahun 2004. dalam Pasal 28
hakim harus melihat atau mempelajari kebiasaan atau adat setempat dalam
menjatuhan putusan pidana terhadap kasus yang berkaitan dengan adat setempat.
Dalam
kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan dikarenakan tuntutan masyarakat
adat maka pada tanggal 24 Juni 1999, telah diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah
Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Peraturan ini
dimaksudkan untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan
kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian
masalah yang menyangkut tanah ulayat.
Peraturan ini
memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap "hak
ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat" sebagaimana
dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA. Kebijaksanaan tersebut meliputi :
1. Penyamaan
persepsi mengenai "hak ulayat" (Pasal 1)
2. Kriteria
dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat
hukum adat (Pasal 2 dan 5).
3. Kewenangan
masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4)
Indonesia
merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, dimana diakui
keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam prakteknya
(deskritif) sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk mengelola
ketertiban di lingkungannya.
Di tinjau
secara preskripsi (dimana hukum adat dijadikan landasan dalam menetapkan
keputusan atau peraturan perundangan), secara resmi, diakui keberadaaanya namun
dibatasi dalam peranannya. Beberapa contoh terkait adalah UU dibidang agraria
No.5 / 1960 yang mengakui keberadaan hukum adat dalam kepemilikan tanah.
3.Abraham
Maslow Tentang 8 tahap kebutuhan Dasar
Manusia
Abraham
Maslow (1908
- 1970)
adalah teoretikus yang banyak memberi inspirasi dalam teori kepribadian. Ia
juga seorang psikolog yang berasal dari Amerika dan menjadi seorang pelopor
aliran psikologi
humanistik.
Ia terkenal dengan teorinya tentang hirarki kebutuhan manusia.
Abraham
Maslow dikenal sebagai pelopor aliran psikologi humanistik.
Maslow percaya bahwa manusia tergerak untuk memahami dan menerima dirinya sebisa
mungkin. Teorinya
yang sangat terkenal sampai dengan hari ini adalah teori tentang Hierarchy
of Needs atau Hirarki Kebutuhan Kehidupan keluarganya dan pengalaman
hidupnya memberi pengaruh atas gagasan gagasan psikologisnya. Setelah perang
dunia ke II, Maslow mulai mempertanyakan bagaimana psikolog psikolog sebelumnya
tentang pikiran manusia. Walau tidak menyangkal sepenuhnya, namun ia memiliki
gagasan sendiri untuk mengerti jalan pikir manusia.
KEBUTUHAN DASAR MANUSIA
Kebutuhan dasar manusia
merupakan unsur-unsur yang dibutuhkan oleh manusia dalam mempertahankan
keseimbangan fisiologi maupun psikologis.
- Faktor – faktor yang mempengaruhi kebutuhan dasar manusia
- Penyakit.
Jika dalam keadaan sakit maka beberapa fungsi organ tubuh memerlukan pemenuhan kebutuhan lebih besar dari biasanya. - Hubungan keluarga.
Hubungan keluarga yang baik dapat meningkatkan pemenuhan kebutuhan dasar karena adanya saling percaya. - Konsep diri.
Konsep diri yang positif memberikan makna dan keutuhan bagi seseorang. Konsep diri yang sehat memberikan perasaan yang positif terhadap diri. Orang yang merasa positif tentang dirinya akan mudah berubah, mudah mengenali kebutuhan dan mengembangkan cara hidup yang sehat sehingga lebih mudah memenuhi kebutuhan dasarnya - Tahap perkembangan.
Setiap tahap perkembangan manusia mempunyai kebutuhan yang berbeda, baik kebutuhan biologis, psikologis, sosial, maupun spiritual. - Kebutuhan
dasar manusia menurut Abraham Maslow
Abraham Maslow dilahirkan di Brooklyn, New York, pada tahun 1908 dan wafat pada tahun 1970 dalam usia 62 tahun. Abraham Maslow dikenal sebagai pelopor aliran psikologi humanistik. Maslow percaya bahwa manusia tergerak untuk memahami dan menerima dirinya sebisa mungkin. Teorinya yang sangat terkenal sampai dengan hari ini adalah teori tentang Hierarchy of Needs (Hirarki Kebutuhan).
Menurut Maslow,
manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya.
Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau hirarki, mulai dari yang
paling rendah (bersifat dasar/fisiologis) sampai yang paling tinggi (aktualisasi
diri). Hierarchy of needs (hirarki kebutuhan) dari Maslow menyatakan bahwa
manusia memiliki 5 macam kebutuhan yaitu physiological needs (kebutuhan
fisiologis), safety and security needs (kebutuhan akan rasa aman), love and
belonging needs (kebutuhan akan rasa kasih sayang dan rasa memiliki), esteem
needs (kebutuhan akan harga diri), dan self-actualization (kebutuhan akan
aktualisasi diri).
- Kebutuhan fisiologis
(Physiological)
Jenis kebutuhan ini berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan dasar semua manusia seperti, makan, minum, menghirup udara, dan sebagainya. Termasuk juga kebutuhan untuk istirahat, buang air besar atau kecil, menghindari rasa sakit, dan seks. Jika kebutuhan dasar ini tidak terpenuhi, maka tubuh akan menjadi rentan terhadap penyakit, terasa lemah, tidak fit, sehingga proses untuk memenuhi kebutuhan selanjutnya dapat terhambat. Hal ini juga berlaku pada setiap jenis kebutuhan lainnya, yaitu jika terdapat kebutuhan yang tidak terpenuhi, maka akan sulit untuk memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi. - Kebutuhan rasa aman dan
perlindungan (Safety and security needs)
Ketika kebutuhan fisiologis seseorang telah terpenuhi secara layak, kebutuhan akan rasa aman mulai muncul. Keadaan aman, stabilitas, proteksi dan keteraturan akan menjadi kebutuhan yang meningkat. Jika tidak terpenuhi, maka akan timbul rasa cemas dan takut sehingga dapat menghambat pemenuhan kebutuhan lainnya - Kebutuhan akan rasa kasih sayang
dan rasa memiliki (love and Belonging needs)
Ketika seseorang merasa bahwa kedua jenis kebutuhan di atas terpenuhi, maka akan mulai timbul kebutuhan akan rasa kasih sayang dan rasa memiliki. Hal ini dapat terlihat dalam usaha seseorang untuk mencari dan mendapatkan teman, kekasih, anak, atau bahkan keinginan untuk menjadi bagian dari suatu komunitas tertentu seperti tim sepakbola, klub peminatan dan seterusnya. Jika tidak terpenuhi, maka perasaan kesepian akan timbul. - Kebutuhan akan harga diri (esteem
needs)
Kemudian, setelah ketiga kebutuhan di atas terpenuhi, akan timbul kebutuhan akan harga diri. Menurut Maslow, terdapat dua jenis, yaitu lower one dan higher one. Lower one berkaitan dengan kebutuhan seperti status, atensi, dan reputasi. Sedangkan higher one berkaitan dengan kebutuhan akan kepercayaan diri, kompetensi, prestasi, kemandirian, dan kebebasan. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka dapat timbul perasaan rendah diri dan inferior. - Kebutuhan aktualisasi diri (Self
Actualization)
Kebutuhan terakhir menurut hirarki kebutuhan Maslow adalah kebutuhan akan aktualisasi diri. Jenis kebutuhan ini berkaitan erat dengan keinginan untuk mewujudkan dan mengembangkan potensi diri. Menurut Abraham Maslow, kepribadian bisa mencapai peringkat teratas ketika kebutuhan-kebutuhan primer ini banyak mengalami interaksi satu dengan yang lain, dan dengan aktualisasi diri seseorang akan bisa memanfaatkan faktor potensialnya secara sempurna.
ANALISIS PANDANGAN/PENDAPAT
CLIFFORD GEERTZ, VAN VOLLENHOVEN DAN ABRAHAM MASLOW
Diajukan
untuk memenuhi salah satu tugas
Mata
Kuliah : Teori Sosiologi dan Antropologi
dalam Konsep IPS
Dosen
: Prof. Dr. H. Endang Komara, Drs, M.S.i
Disusun Oleh :
TAUFIK
MULYANA, S.Pd
NPM : 10870115
Angkatan /Semester : 5A / II (dua)
PROGRAM PASCA SARJANA
PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (S2)
STKIP PASUNDAN CIMAHI
2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
TERIMAKASIH